Surah At-Taubah, atau Surat Bara'ah (Pelepasan), merupakan surat Madaniyah yang kaya akan pelajaran sejarah, hukum, dan etika sosial umat Islam, khususnya terkait periode akhir kehidupan Rasulullah SAW. Salah satu ayat krusial yang sering dibahas dalam konteks peperangan dan hubungan antarumat beragama adalah Surah At-Taubah ayat 29. Ayat ini memberikan batasan dan arahan yang jelas mengenai bagaimana seharusnya kaum Muslimin berinteraksi dengan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) dalam konteks peperangan dan kewajiban membayar jizyah.
"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan tidak pula mereka mengikuti agama yang benar, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Al-Kitab, sehingga mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk (terhina)."
Ayat 29 ini turun dalam konteks persiapan kaum Muslimin menghadapi suku-suku yang melanggar perjanjian damai, khususnya setelah peristiwa Tabuk. Ayat ini ditujukan kepada Ahli Kitab yang secara aktif memusuhi dan menolak kebenaran Islam, serta menolak tunduk pada otoritas hukum Islam yang berlaku di kawasan tersebut.
Penting untuk dicatat bahwa perintah untuk memerangi ini tidak bersifat umum dan tanpa batas. Para ulama menegaskan bahwa ayat ini berlaku ketika Ahli Kitab berada dalam posisi permusuhan aktif atau menolak untuk hidup berdampingan secara damai di bawah naungan negara Islam dengan status dhimmi (warga negara non-Muslim yang dilindungi). Ayat ini adalah perintah yang muncul sebagai respons terhadap agresi atau penolakan terang-terangan terhadap prinsip keadilan Islam.
Ayat ini memuat tiga kriteria utama yang menjadi dasar penentuan sikap (perang atau penundukan dengan jizyah):
Setelah kriteria di atas terpenuhi dan jika pertempuran terjadi atau dihindari dengan kesepakatan damai, pilihan yang ditawarkan adalah pembayaran Jizyah. Jizyah adalah pungutan kompensasi tahunan yang dibayarkan oleh warga negara non-Muslim (Ahli Kitab) sebagai ganti atas perlindungan militer (keamanan) yang diberikan oleh negara Islam dan pembebasan mereka dari kewajiban ikut berperang di pihak Muslim.
Frasa "an yadin wa hum shoghirun" (dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk/rendah) seringkali disalahpahami. Dalam konteks fiqh klasik, "shaghirun" di sini tidak dimaknai sebagai penghinaan fisik yang mutlak, melainkan merujuk pada kondisi pengakuan kedaulatan hukum dan politik Islam di wilayah tersebut. Mereka tunduk pada peraturan negara tempat mereka tinggal, bukan berarti derajat kemanusiaan mereka direndahkan. Ini adalah pengakuan formal bahwa mereka berada di bawah perlindungan sistem pemerintahan Islam.
Para mufassir kontemporer menekankan bahwa Surah At-Taubah ayat 29 harus dipahami secara kontekstual, yaitu sebagai bagian dari regulasi konflik dan hubungan diplomatik pada masa itu. Ayat ini tidak memberikan izin untuk agresi tanpa alasan atau penyerangan terhadap pemeluk agama lain yang hidup damai.
Jika kelompok Ahli Kitab menerima status dhimmi dan membayar jizyah, mereka dijamin kebebasan beribadah, perlindungan harta benda, dan kehidupan mereka. Perintah memerangi hanya berlaku bagi mereka yang secara aktif menentang negara Islam dan menolak hidup dalam perjanjian damai yang adil. Ayat ini, oleh karena itu, berfungsi sebagai kerangka hukum untuk mengatur interaksi antara entitas politik Islam dengan entitas non-Muslim yang berpotensi mengancam stabilitas atau menolak kebenaran dakwah dalam konteks historis tertentu.