Surah At-Taubah (Pewenangan), surat ke-9 dalam Al-Qur'an, mengandung banyak ayat yang mengatur hubungan sosial, politik, dan keimanan umat Islam. Di antara ayat-ayat penting tersebut, ayat 28 dan 29 menyoroti isu sensitif mengenai interaksi dengan non-Muslim, terutama yang terkait dengan aspek kesucian tempat ibadah dan batasan muamalah (perdagangan dan hubungan sosial) yang tegas.
"Hai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam setelah tahun ini. Dan jika kamu takut menjadi miskin, maka Allah akan mengkayakan kamu dari karunia-Nya (jika Dia menghendaki). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS. At-Taubah: 28)
(QS. 9:28)"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan mereka tidak menganut agama yang benar (yaitu agama Allah), (perangilah mereka itu) sampai mereka membayar jizyah (pajak) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk." (QS. At-Taubah: 29)
(QS. 9:29)Ayat ke-28 Surah At-Taubah turun dalam konteks pembebasan kota Mekkah dan penegasan kedaulatan Islam di Jazirah Arab. Ayat ini memberikan perintah tegas mengenai status kesucian Masjidilharam. Kata "najis" (رِجْسٌ - rijsun) dalam konteks ini seringkali ditafsirkan bukan sekadar najis secara fisik, melainkan najis dalam arti keyakinan dan perbuatan yang bertentangan dengan tauhid murni. Oleh karena itu, orang-orang musyrik dilarang keras memasuki area suci tersebut setelah batas waktu yang ditentukan.
Larangan ini bertujuan untuk membersihkan tempat ibadah utama umat Islam dari segala bentuk kemusyrikan. Kekhawatiran akan kemiskinan akibat terhentinya aktivitas perdagangan yang mungkin bergantung pada kehadiran musyrikin dibantah oleh Allah SWT dengan janji kekayaan dari karunia-Nya. Ini adalah pelajaran bahwa ketaatan kepada perintah Allah harus didahulukan di atas pertimbangan ekonomi duniawi.
Ayat 29 melanjutkan konteks ketegasan dengan memerintahkan peperangan terhadap Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang menolak tunduk pada otoritas pemerintahan Islam yang berlandaskan syariat, selama mereka belum mau membayar jizyah. Penting untuk memahami bahwa ayat ini tidak berlaku untuk semua non-Muslim, melainkan spesifik bagi mereka yang memerangi atau menolak tunduk pada perjanjian damai yang berlandaskan prinsip ketuhanan.
Jizyah adalah kompensasi atau pajak perlindungan yang dibayarkan oleh warga non-Muslim (dzimmi) yang berada di bawah naungan negara Islam. Pembayaran ini menandakan penerimaan mereka terhadap kepemimpinan Islam dan sebagai imbalannya, negara wajib melindungi nyawa, harta benda, dan kebebasan beragama mereka. Ayat ini menetapkan mekanisme hubungan antara komunitas yang berbeda keyakinan di bawah satu struktur pemerintahan, yakni dengan mengakui otoritas hukum tertinggi Islam sambil tetap memelihara hak beragama mereka.
Dalam interpretasi modern, ayat 28 dan 29 memberikan batasan yang jelas namun juga kerangka kerja untuk interaksi. Ayat 28 menekankan pentingnya menjaga kesucian spiritual dan prinsip akidah. Meskipun konteks spesifiknya adalah Masjidilharam, prinsip pemisahan antara tauhid murni dan kemusyrikan tetap relevan dalam menentukan batasan-batasan prinsip dalam kehidupan publik seorang Muslim.
Sementara itu, ayat 29 mengajarkan bahwa dalam konteks politik dan hukum, otoritas yang menegakkan syariat memiliki hak untuk menetapkan aturan bagi pihak yang menolak mengakui otoritas tersebut, melalui mekanisme yang dikenal sebagai jizyah, yang merupakan simbol tunduk pada sebuah sistem hukum yang sah, bukan penyerahan identitas spiritual.
Secara keseluruhan, Surah At-Taubah ayat 28 dan 29 adalah serangkaian perintah yang tegas mengenai pemurnian ibadah dan penegasan batas-batas kedaulatan Islam di masa pembentukan negara. Ayat-ayat ini menuntut kejelasan sikap: dalam ibadah harus steril dari unsur syirik, dan dalam hubungan sosial-politik harus ada kejelasan status antara yang tunduk pada hukum Islam dan yang memilih jalan perlawanan atau penolakan terhadap otoritas yang sah tersebut. Keseimbangan antara ketegasan prinsip dan keadilan dalam mengatur hubungan antarumat beragama adalah pelajaran utama yang dapat kita ambil dari ayat-ayat ini.
Pemahaman yang mendalam mengenai konteks historis dan linguistik ayat-ayat ini sangat krusial agar tidak terjadi kesalahan penafsiran yang dapat menjauhkan kita dari semangat toleransi yang juga diajarkan dalam Islam, di luar konteks peperangan atau penegasan kedaulatan yang spesifik pada zaman penurunan wahyu.