Pernyataan "jika kamu tidak bisa membuat bahagia, setidaknya jangan merusak kebahagiaan" seringkali menjadi sebuah cermin bagi diri sendiri. Dalam perjalanan hidup yang penuh dinamika ini, kita sering menaruh ekspektasi besar pada orang lain—termasuk berharap mereka menjadi sumber utama dari kebahagiaan kita. Namun, ketika kenyataan tidak sesuai harapan, atau ketika kita gagal memberikan kebahagiaan yang kita inginkan kepada orang lain, rasa kecewa dan kadang sinisme mulai muncul.
Kebahagiaan sejati berakar dari dalam diri. Ini adalah tanggung jawab pribadi. Ketika kita bergantung pada faktor eksternal—seperti pasangan, pekerjaan, atau validasi dari orang lain—kita menyerahkan kendali atas emosi kita. Jika kamu merasa kesulitan untuk membangun fondasi kebahagiaanmu sendiri, mungkin fokus utama seharusnya bukan pada bagaimana "membahagiakan orang lain," melainkan bagaimana "memelihara diri sendiri."
Beban untuk menjadi sumber kebahagiaan tunggal bagi seseorang sangatlah berat, baik bagi yang memberi maupun yang menerima. Ketika kita mencoba memaksakan kebahagiaan pada orang lain tanpa memiliki kestabilan emosi, hasilnya seringkali justru kontraproduktif. Kita mungkin menjadi posesif, menuntut pengakuan, atau secara tidak sadar menciptakan rasa bersalah. Inilah titik di mana niat baik berubah menjadi potensi kerusakan.
Mengapa seseorang merasa tidak mampu membahagiakan orang lain? Sering kali ini berhubungan dengan persepsi diri dan trauma masa lalu. Jika kita merasa tidak layak atau tidak cukup baik, secara otomatis kita memproyeksikan kekurangan itu ke dalam interaksi kita. Kita mungkin takut mencoba karena takut gagal memberikan dampak positif, sehingga memilih untuk menarik diri atau bahkan menyabotase situasi.
Namun, memahami akar masalah ini adalah langkah pertama menuju perbaikan. Daripada berfokus pada kegagalan menciptakan 'efek bahagia' pada orang lain, alihkan energi itu untuk mencari tahu apa yang membuat dirimu utuh dan damai. Kebahagiaan yang otentik bersifat menular; ia tidak perlu dipaksakan. Ketika kamu menemukan kedamaian dalam dirimu, kehadiranmu—bukan tindakanmu—sendiri sudah menjadi anugerah bagi orang di sekitarmu.
"Setidaknya jangan merusak kebahagiaan" adalah prinsip etika sosial yang kuat. Merusak kebahagiaan orang lain bisa terjadi dalam berbagai bentuk: kritik yang tidak membangun, kecemburuan, provokasi drama, atau manipulasi emosional. Tindakan ini sering muncul dari rasa tidak aman pribadi. Ketika kita melihat orang lain bersinar, dan kita merasa gelap, naluri destruktif mungkin muncul untuk "meredupkan" cahaya mereka agar kita tidak merasa terlalu jauh tertinggal.
Menghormati ruang kebahagiaan orang lain berarti mengakui bahwa mereka juga memiliki hak untuk menikmati hidup, terlepas dari keadaan emosional kita saat ini. Ini memerlukan kedewasaan emosional yang tinggi—kemampuan untuk menahan diri dari komentar negatif, menjauhi gosip yang merendahkan, dan tidak memaksakan pandangan pesimistik kita pada narasi positif mereka. Ini adalah bentuk empati minimal yang harus kita tawarkan dalam setiap hubungan.
Jika kamu berada dalam posisi di mana kamu merasa tidak mampu memberikan kebahagiaan, fokuskan pada pembangunan fondasi diri. Pertama, **self-compassion**: perlakukan dirimu dengan kebaikan yang sama seperti kamu memperlakukan sahabat terbaikmu. Kedua, **menetapkan batasan sehat**: batasi paparan terhadap hal-hal yang menguras energimu. Ketiga, **mencari dukungan profesional**: terkadang, kesulitan ini memerlukan panduan dari terapis untuk membongkar pola pikir negatif yang menghambat pertumbuhan.
Ingat, kontribusi terbesar yang bisa kamu berikan kepada dunia adalah menjadi versi dirimu yang paling stabil dan damai. Ketika kamu utuh, kamu tidak perlu bersusah payah "membuat" orang lain bahagia; kamu hanya perlu ada. Dan itu sudah lebih dari cukup. Jika kamu tidak bisa menciptakan kebahagiaan hari ini, setidaknya pastikan kamu tidak menjadi penghalang bagi kebahagiaan siapa pun, termasuk kebahagiaanmu sendiri di masa depan. Sikap menahan diri dari merusak adalah bentuk kontribusi positif yang sering diremehkan.