Mengenang Harga Pertamax di Masa Lalu

Membicarakan mengenai harga bahan bakar minyak (BBM), khususnya Pertamax, selalu menarik untuk dilakukan. Fluktuasi harga BBM di Indonesia adalah topik yang tak pernah basi, terlebih ketika kita mencoba menengok ke belakang, melihat bagaimana dinamika harga terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Salah satu periode yang sering menjadi sorotan adalah masa ketika skema subsidi BBM masih sangat kental pengaruhnya, seperti yang terjadi di rentang waktu yang kita bahas ini.

P

Mencari tahu mengenai harga Pertamax pada periode tersebut (merujuk pada sekitar satu dekade lalu) adalah upaya untuk memahami konteks ekonomi konsumen pada saat itu. Harga BBM non-subsidi seperti Pertamax, meskipun tidak sering mengalami perubahan drastis seperti BBM bersubsidi (Premium), tetap dipengaruhi oleh harga minyak mentah dunia dan kebijakan pemerintah terkait pajak serta margin keuntungan BUMN.

Dinamika Harga BBM Non-Subsidi

Pada masa itu, kesadaran masyarakat akan penggunaan bahan bakar beroktan tinggi seperti Pertamax (saat itu biasanya RON 92) mulai meningkat. Hal ini didorong oleh semakin banyaknya populasi kendaraan modern yang membutuhkan pembakaran lebih efisien dan ramah lingkungan sesuai standar mesin yang ada. Namun, selisih harga antara Premium dan Pertamax seringkali menjadi pertimbangan utama bagi mayoritas pengguna kendaraan roda empat dan roda dua.

Kala itu, perbandingan harga BBM seringkali menjadi bahan diskusi hangat. Jika harga minyak dunia sedang stabil, PT Pertamina (Persero) cenderung menetapkan harga jual yang relatif terjangkau untuk menjaga daya beli masyarakat. Namun, perlu dicatat bahwa meskipun Pertamax adalah produk komersial tanpa subsidi langsung dari negara, penetapan harganya tetap berada di bawah bayang-bayang kebijakan makro BBM bersubsidi. Pemerintah selalu berupaya menjaga agar tidak terjadi lompatan harga yang terlalu besar antara BBM bersubsidi dan non-subsidi, demi menjaga stabilitas inflasi.

Faktor yang Mempengaruhi Harga di Masa Lalu

Ada beberapa variabel kunci yang menentukan berapa rupiah yang harus dibayar konsumen per liternya untuk mendapatkan Pertamax. Pertama, tentu saja adalah Harga Indeks Pasar (HIP) minyak global. Meskipun Indonesia adalah produsen minyak, ketergantungan pada impor bahan baku olahan membuat kita rentan terhadap gejolak pasar komoditas internasional. Ketika harga minyak mentah Brent atau WTI naik tajam, sangat wajar jika harga Pertamax juga mengalami penyesuaian.

Kedua, adalah nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (USD). Karena transaksi impor bahan baku menggunakan Dolar, pelemahan Rupiah secara otomatis akan meningkatkan biaya perolehan bahan baku Pertamax, yang pada akhirnya berimbas pada harga jual eceran di SPBU. Ketiga, aspek regulasi dan pajak turut memainkan peran. Struktur pajak yang diterapkan oleh pemerintah pada saat itu menjadi komponen tetap dalam perhitungan harga jual akhir.

Melihat kembali angka historis harga Pertamax di tahun-tahun tersebut memberikan kita perspektif menarik. Dibandingkan dengan harga saat ini, perbedaan nominalnya mungkin terlihat signifikan. Hal ini bukan hanya disebabkan oleh inflasi umum yang terjadi selama bertahun-tahun, tetapi juga karena perubahan formula penghitungan harga BBM oleh pemerintah, termasuk penyesuaian terkait menghilangkan atau menambah komponen subsidi/pajak tertentu pada produk non-subsidi.

Dampak Keputusan Konsumen

Ketika harga Pertamax berada pada level tertentu, konsumen akan bereaksi berbeda. Bagi pemilik kendaraan premium atau mobil performa tinggi, selisih harga mungkin tidak terlalu signifikan karena mereka sudah berkomitmen pada oktan tinggi. Namun, bagi pengguna mobil irit yang mencoba beralih dari Premium ke Pertamax demi performa mesin yang lebih baik, setiap kenaikan harga akan terasa memberatkan anggaran bulanan mereka.

Periode tersebut juga menjadi masa di mana edukasi publik mengenai dampak oktan bahan bakar terhadap umur mesin dan efisiensi bahan bakar semakin gencar dilakukan. Semakin banyak literatur dan informasi yang tersedia, semakin banyak pula pemilik kendaraan yang mulai mempertimbangkan biaya jangka panjang perawatan mesin dibandingkan penghematan kecil saat membeli BBM beroktan rendah. Pemahaman ini perlahan menggeser pola pikir masyarakat tentang pentingnya memilih bahan bakar yang sesuai dengan spesifikasi kendaraan yang dimiliki, meskipun harus membayar sedikit lebih mahal.

Singkatnya, menelusuri kembali jejak harga Pertamax di masa lalu bukan sekadar melihat angka, tetapi memahami sebuah fragmen dari ekonomi energi nasional, tantangan fiskal pemerintah, serta evolusi kesadaran konsumen akan kualitas bahan bakar kendaraan mereka. Perubahan harga tersebut adalah cerminan dari kondisi makro ekonomi dan kebijakan energi yang berlaku saat itu.