Dunia teknologi informasi sering kali diselimuti oleh istilah-istilah yang membangkitkan rasa ingin tahu, salah satunya adalah istilah terkait aktivitas "hacker". Ketika membicarakan tentang aktivitas ini, muncul pertanyaan mendasar mengenai bahasa pemrograman apa yang paling sering digunakan. Sebenarnya, tidak ada satu bahasa pemrograman tunggal yang merupakan contoh bahasa pemrograman hacker universal, karena aktivitas peretasan atau pengujian keamanan melibatkan berbagai macam skenario dan target sistem.
Aktivitas yang berhubungan dengan keamanan siber (baik ofensif maupun defensif) menuntut fleksibilitas. Seorang profesional keamanan atau peneliti harus mampu berinteraksi dengan berbagai lapisan sistem operasi, protokol jaringan, hingga aplikasi web. Oleh karena itu, pemilihan bahasa pemrograman sangat tergantung pada apa yang sedang mereka coba manipulasi atau pahami.
Salah satu bahasa yang sangat dominan dalam ranah ini adalah **Python**. Python sangat digemari karena sintaksnya yang ringkas dan kemampuannya untuk menangani tugas-tugas kompleks dengan kode yang relatif sedikit. Python memiliki banyak sekali pustaka (library) yang siap pakai untuk segala hal, mulai dari memproses data mentah, membuat skrip otomatisasi, hingga berinteraksi dengan API jaringan. Ini menjadikan Python bahasa utama untuk membuat *proof-of-concept* (PoC) eksploitasi atau alat pemindai kerentanan yang cepat.
# Contoh singkat Python untuk memeriksa konektivitas
import socket
def check_port(ip, port):
s = socket.socket(socket.AF_INET, socket.SOCK_STREAM)
s.settimeout(1)
result = s.connect_ex((ip, port))
s.close()
if result == 0:
print(f"Port {port} terbuka pada {ip}")
check_port("127.0.0.1", 80)
Meskipun Python unggul dalam kecepatan pengembangan skrip, ketika berbicara mengenai peretasan yang memerlukan interaksi langsung dengan memori sistem atau performa tinggi—terutama dalam pengembangan *malware* canggih atau eksploitasi *zero-day*—bahasa tingkat rendah menjadi tak terhindarkan. Di sinilah **C** dan **C++** mengambil peran penting. Bahasa-bahasa ini memungkinkan kontrol penuh atas alokasi memori dan instruksi mesin. Banyak alat keamanan yang sangat cepat dan telah teruji ditulis dalam C/C++ karena efisiensinya.
Selain itu, untuk analisis mendalam atau pemrograman sistem operasi, **Assembly Language** (bahasa rakitan) kadang-kadang diperlukan. Assembly adalah bahasa yang paling dekat dengan instruksi yang dipahami langsung oleh CPU. Memahami Assembly sangat krusial bagi mereka yang melakukan *reverse engineering* atau membuat *shellcode* yang sangat kecil dan efisien.
Jika fokusnya adalah pada kerentanan aplikasi web, maka **JavaScript** (terutama dalam konteks *client-side* dan Node.js untuk *server-side*) menjadi sangat relevan, terutama untuk serangan seperti Cross-Site Scripting (XSS) atau manipulasi DOM. Sementara itu, **PHP** atau **Ruby** sering ditemui karena banyak server web masih mengandalkan kerangka kerja yang dibangun dengan bahasa tersebut, sehingga kerentanan pada bahasa tersebut sering dieksploitasi.
Sebagai penutup, tidak ada satu pun bahasa yang secara eksklusif adalah contoh bahasa pemrograman hacker. Sebaliknya, seorang praktisi keamanan yang handal harus memiliki pemahaman yang luas tentang berbagai bahasa. Python memberikan kecepatan pembuatan alat, sementara C/C++ memberikan kontrol mendalam. Keahlian sebenarnya terletak pada pemahaman bagaimana bahasa-bahasa tersebut berinteraksi dengan infrastruktur komputasi yang lebih luas.
Pemilihan alat tergantung pada tujuannya: apakah itu otomatisasi tugas sederhana, pengembangan *exploit* yang membutuhkan kecepatan eksekusi, atau analisis kode biner yang rumit. Semua ini membentuk ekosistem pemrograman yang kaya dan kompleks dalam dunia keamanan siber.