Mengapa Bahasa Makassar Tidak Sepopuler Bahasa Lain di Indonesia?

Komunikasi Daerah

Ilustrasi keragaman komunikasi di wilayah selatan Nusantara.

Bahasa Makassar, atau yang sering juga disebut sebagai Bahasa Mangkasara, adalah salah satu kekayaan linguistik vital di Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan. Meskipun memiliki jumlah penutur yang signifikan dan merupakan bahasa sehari-hari bagi masyarakat Gowa, Makassar, Jeneponto, Takalar, Bantaeng, dan sekitarnya, seringkali muncul pertanyaan mengapa popularitasnya tidak menandingi bahasa daerah lain seperti Jawa atau Sunda dalam skala nasional.

Dominasi Bahasa Indonesia dan Faktor Urbanisasi

Faktor utama yang mempengaruhi penyebaran dan popularitas sebuah bahasa daerah adalah pergeseran fungsi bahasa dalam tatanan sosial, politik, dan pendidikan. Sejak awal kemerdekaan, Bahasa Indonesia telah ditetapkan sebagai bahasa persatuan, pengantar pendidikan formal, dan bahasa administrasi pemerintahan. Hal ini secara alami memarginalkan bahasa lokal di ruang-ruang publik formal.

Di kota-kota besar seperti Makassar, percampuran suku semakin intensif. Masyarakat Bugis, Makassar, Toraja, Mandar, dan pendatang dari pulau lain bertemu dan berkomunikasi. Dalam konteks ini, Bahasa Indonesia menjadi bahasa perantara yang paling netral dan efektif. Akibatnya, generasi muda yang tumbuh di lingkungan urban seringkali lebih fasih dalam Bahasa Indonesia standar daripada dalam Mangkasara.

Perbedaan Kasus dengan Bahasa Jawa

Jika kita membandingkan, Bahasa Jawa berhasil mempertahankan jangkauan geografis yang luas karena sejarah kerajaan besar dan demografi penuturnya yang masif, tersebar di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Bahasa Makassar, meskipun kuat di wilayahnya, memiliki wilayah sebar yang lebih terkonsentrasi secara geografis. Ketika migrasi terjadi, migran cenderung mengadopsi bahasa nasional untuk integrasi sosial dan ekonomi.

Perlu dipahami bahwa "tidak populer" di sini tidak berarti bahasa ini mati atau terancam punah secara akut. Bahasa Makassar masih sangat hidup dan digunakan secara aktif di lingkungan keluarga dan komunitas tradisional. Namun, dalam konteks representasi media nasional, produksi konten digital, atau dominasi di ranah akademik yang lebih luas di luar Sulawesi Selatan, penggunaannya memang tidak semasif bahasa dominan lainnya.

Peran Media dan Literasi Digital

Di era digital, popularitas bahasa seringkali didorong oleh ketersediaan konten daring. Film, musik pop, dan platform media sosial cenderung didominasi oleh konten berbahasa Indonesia atau bahasa daerah yang memiliki pasar konsumen lebih besar. Walaupun komunitas penutur Makassar aktif di media sosial, volume produksi konten mereka belum mencapai titik kritis yang membuat bahasa ini dikenal luas oleh penutur di luar wilayah asalnya.

Upaya pelestarian terus dilakukan, terutama oleh akademisi dan pegiat budaya setempat. Mereka bekerja keras untuk mendokumentasikan leksikon, tata bahasa, dan tradisi lisan Mangkasara. Namun, tantangan terbesar tetap pada menciptakan situasi di mana generasi muda melihat nilai praktis yang setara antara menggunakan Bahasa Indonesia dan menggunakan Bahasa Makassar dalam kehidupan sehari-hari mereka yang semakin terglobalisasi.

Stigma dan Identitas

Terkadang, muncul stigma bahwa penggunaan bahasa daerah dalam situasi formal dapat dianggap "ketinggalan zaman" atau kurang profesional oleh sebagian kecil masyarakat. Stigma ini, meskipun kurang beralasan, dapat mempengaruhi pilihan bahasa seseorang. Jika seseorang merasa bahwa menggunakan Bahasa Indonesia akan membuka lebih banyak peluang dibandingkan mempertahankan dialek lokal, ia cenderung memilih bahasa mayoritas. Ini adalah dilema umum yang dihadapi banyak bahasa minoritas di Indonesia.

Kesimpulannya, Bahasa Makassar adalah bahasa yang kaya dan vital bagi identitas masyarakatnya. Alasan mengapa popularitasnya tidak meluas secara nasional sangat berkaitan dengan kebijakan bahasa negara yang memprioritaskan Bahasa Indonesia sebagai pemersatu, laju urbanisasi, dan dinamika pasar konten digital yang cenderung homogen. Pelestarian harus fokus pada penguatan fungsi bahasa tersebut di ranah domestik dan pendidikan lokal, bukan semata-mata mengejar popularitas di kancah nasional. Usaha ini penting agar identitas linguistik Sulawesi Selatan tetap terjaga kekuatannya di tengah arus modernisasi.

Perlu diingat bahwa daya tarik sebuah bahasa tidak selalu terukur dari jumlah penutur di luar wilayah asalnya, tetapi dari kedalaman makna dan fungsi yang ia jalankan bagi komunitas intinya. Bahasa Makassar, meskipun popularitasnya terpusat, memegang peranan fundamental dalam warisan budaya masyarakatnya.

Inilah mengapa tantangan pelestariannya bukan tentang 'mengejar' bahasa lain, melainkan tentang memastikan bahwa setiap anak di Makassar tetap dapat berkomunikasi dengan leluhurnya melalui bahasa ibu mereka, meskipun dunia di sekitar mereka berbicara dalam bahasa nasional yang seragam.