Komunikasi adalah fondasi interaksi manusia, dan bagi komunitas Tuli di Indonesia, Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) atau Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI) adalah jembatan utama. Namun, menyampaikan emosi abstrak seperti rasa takut memerlukan pemahaman mendalam mengenai kombinasi gerakan tangan, ekspresi wajah, dan bahasa tubuh. Mengidentifikasi 'bahasa isyarat takut' bukan sekadar mencari satu tanda tunggal, melainkan menguraikan rangkaian isyarat yang menyertai kondisi psikologis tersebut.
Dalam komunikasi verbal, intonasi suara seringkali mengkhianati rasa takut seseorang. Dalam bahasa isyarat, fungsi ini sepenuhnya diemban oleh ekspresi wajah atau *non-manual markers*. Ketika seseorang ingin mengindikasikan rasa takut atau terkejut, mata akan melebar, alis terangkat atau menyatu di tengah, dan mulut mungkin terbuka sedikit atau membentuk kurva yang tegang. Ekspresi ini adalah komponen wajib; tanpa ekspresi yang tepat, isyarat tangan yang dilakukan mungkin memiliki arti yang sama sekali berbeda atau bahkan tidak memiliki makna sama sekali.
Di Indonesia, kekhasan lokal dalam ekspresi takut juga bisa muncul. Misalnya, ketika ketakutan itu bersifat mendadak (seperti terkejut), gerakannya akan cepat dan diikuti dengan penarikan tubuh sedikit ke belakang. Jika rasa takut itu adalah kecemasan berkelanjutan, ekspresi wajah akan lebih halus namun terus menerus menunjukkan ketegangan pada otot wajah. Para penutur bahasa isyarat seringkali menggunakan seluruh fitur wajah mereka sebagai penanda gramatikal emosi.
Walaupun ekspresi wajah adalah kunci, gerakan tangan tetap berperan penting dalam menandai konsep "takut" secara umum. Salah satu isyarat yang sering dikaitkan dengan rasa takut, cemas, atau bahaya melibatkan gerakan tangan yang mendekati atau menutupi area dada atau perut bagian atas, disertai dengan gerakan maju-mundur ringan yang menunjukkan kegelisahan. Ada juga variasi di mana kedua tangan diangkat setinggi bahu dengan telapak tangan menghadap ke depan (seperti gerakan 'stop' namun dilakukan dengan ketegangan), yang mengkomunikasikan bahwa subjek merasa terancam atau ingin menghentikan sesuatu yang menakutkan terjadi.
Penting untuk dicatat bahwa BISINDO bersifat fleksibel dan sangat tergantung pada konteks. Jika seseorang sedang menceritakan pengalaman dikejar anjing galak, isyarat takut yang digunakan mungkin lebih dramatis, melibatkan gerakan tubuh yang lebih besar untuk menunjukkan upaya melarikan diri atau menghindar. Sebaliknya, jika seseorang hanya merasa sedikit khawatir tentang hasil ujian, isyaratnya akan lebih terkontrol dan terpusat pada area wajah dan bahu.
Bagi mereka yang baru mempelajari bahasa isyarat, membedakan antara isyarat terkejut (surprise) dan isyarat takut (fear) bisa menjadi tantangan. Keduanya melibatkan mata yang terbuka lebar. Perbedaan mendasarnya terletak pada durasi dan intensitas ketegangan otot wajah. Kejutan cenderung singkat dan diikuti relaksasi, sementara rasa takut akan mempertahankan ketegangan tersebut sedikit lebih lama, seringkali disertai dengan isyarat tubuh yang menyusut atau melindungi diri.
Memahami bahasa isyarat takut membutuhkan empati visual yang tinggi. Ini mengajarkan kita bahwa komunikasi melampaui kata-kata yang diucapkan. Ketika kita berinteraksi dengan komunitas Tuli di Indonesia, kesediaan untuk memperhatikan detail non-verbal—terutama gerakan mata dan sudut alis—akan sangat meningkatkan kualitas komunikasi dan memastikan bahwa perasaan takut atau kecemasan yang mungkin mereka rasakan dapat diterima dan dipahami sepenuhnya. Kesalahan dalam menangkap nuansa ini bisa menyebabkan kesalahpahaman emosional yang signifikan dalam interaksi sehari-hari.
Sosialisasi mengenai variasi dan kekayaan ekspresi emosi dalam bahasa isyarat adalah langkah penting menuju inklusivitas penuh. Ketika masyarakat umum lebih sadar akan bagaimana rasa takut diekspresikan tanpa suara, respon yang diberikan pun akan lebih tepat dan suportif. Ini membantu menghilangkan stereotip bahwa komunitas Tuli tidak dapat mengekspresikan emosi kompleks secara mendalam; padahal, mereka melakukannya dengan kompleksitas visual yang sama kayanya dengan komunikasi verbal.