Ilustrasi motif tradisional sederhana
Kalimantan, pulau terbesar di Indonesia, adalah rumah bagi keragaman suku dan budaya yang luar biasa. Salah satu elemen paling fundamental dari kekayaan tersebut adalah **bahasa Dayak**. Namun, ketika kita berbicara tentang "bahasa Dayak," kita sebenarnya merujuk pada sebuah rumpun bahasa yang sangat luas, bukan hanya satu bahasa tunggal. Rumpun bahasa ini terbagi menjadi puluhan dialek dan bahasa yang berbeda, yang secara umum diklasifikasikan di bawah rumpun bahasa Austronesia.
Keberadaan bahasa-bahasa ini mencerminkan sejarah migrasi dan isolasi geografis masyarakat Dayak di pedalaman hutan tropis Kalimantan. Setiap sub-suku, seperti Dayak Ngaju, Dayak Kayan, Dayak Kenyah, Dayak Punan, dan banyak lagi, sering kali memiliki variasi bahasa yang signifikan, meskipun mereka masih memiliki akar linguistik yang sama.
Salah satu tantangan terbesar dalam studi bahasa Dayak adalah mendefinisikan batas-batasnya. Para ahli bahasa membagi bahasa-bahasa ini ke dalam beberapa kelompok utama. Bahasa-bahasa yang paling banyak diteliti dan sering dijadikan sebagai 'bahasa representatif' adalah bahasa Dayak Ngaju (sering disebut sebagai bahasa Kalimantan Tengah) dan bahasa yang digunakan oleh masyarakat di hulu Sungai Barito.
Secara umum, dialek-dialek ini dapat dikelompokkan menjadi setidaknya lima kelompok besar, yaitu Kelompok Ot Danum, Kelompok Barito Raya, Kelompok Punan, Kelompok Malayic Dayak (yang berdekatan dengan bahasa Melayu Pasar), dan Kelompok Apo Duhat. Perbedaan kosakata, tata bahasa, dan fonologi di antara kelompok-kelompok ini bisa sangat mencolok. Misalnya, kata untuk "air" atau "ayah" mungkin sangat berbeda antara bahasa yang digunakan oleh Dayak di Kalimantan Barat dibandingkan dengan yang ada di Kalimantan Timur.
Seiring dengan arus modernisasi, urbanisasi, dan dominasi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan pendidikan, banyak bahasa Dayak minoritas menghadapi ancaman serius terhadap kelestariannya. Generasi muda di banyak komunitas cenderung lebih nyaman menggunakan Bahasa Indonesia atau bahasa Melayu lokal yang lebih luas jangkauannya dalam interaksi sehari-hari.
Ketika sebuah bahasa minoritas terancam punah, hal itu berarti hilangnya warisan budaya tak benda yang tak ternilai. Bahasa adalah wadah bagi pengetahuan tradisional, mitologi, sistem kekerabatan, dan kearifan lokal mengenai lingkungan. Hilangnya bahasa Dayak sama artinya dengan hilangnya cara pandang unik masyarakat Dayak terhadap alam semesta.
Oleh karena itu, berbagai upaya pelestarian terus dilakukan. Di tingkat akademik, penelitian dan dokumentasi bahasa menjadi prioritas. Di tingkat komunitas, beberapa inisiatif lokal berfokus pada pengajaran bahasa kepada anak-anak melalui kegiatan adat atau program sekolah lokal, memastikan bahwa tradisi lisan seperti *tuntang* (sejenis nyanyian atau syair) tetap hidup dalam bahasa aslinya. Meskipun Bahasa Indonesia adalah jembatan komunikasi yang vital, mempertahankan identitas linguistik adalah kunci untuk menjaga otentisitas kebudayaan Dayak.
Bagi masyarakat Dayak, bahasa lebih dari sekadar alat komunikasi; ia adalah penanda identitas kolektif yang kuat. Ketika seorang Dayak berbicara dalam dialek sukunya, ia menegaskan afiliasinya, sejarah leluhurnya, dan kesinambungan budayanya. Penggunaan bahasa adat sering kali terasa lebih intim dan sakral, terutama dalam konteks ritual keagamaan kuno atau saat menyampaikan hukum adat.
Meskipun tantangan globalisasi terus berlanjut, semangat untuk melestarikan bahasa Dayak tetap membara di hati banyak penuturnya. Pengakuan terhadap keragaman ini—bahwa tidak ada satu pun "Bahasa Dayak" tunggal, melainkan sebuah mosaik linguistik yang kaya—adalah langkah pertama dalam menghargai dan melindungi salah satu harta budaya terbesar Indonesia. Upaya kolaboratif antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat adat sangat diperlukan agar warisan linguistik ini dapat diturunkan ke generasi mendatang dengan bangga dan utuh.
Memahami keragaman bahasa Dayak berarti memahami betapa kayanya peta budaya yang tersembunyi di jantung pulau Kalimantan. Setiap kata yang dipertahankan adalah kemenangan bagi keanekaragaman hayati budaya dunia.