Bahasa Dermayu, sering juga disebut Bahasa Indramayu, adalah sebuah varian bahasa yang tumbuh dan berkembang di wilayah pesisir Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Bahasa ini merupakan salah satu kekayaan linguistik lokal yang unik di Indonesia, berbeda signifikan dari bahasa Jawa standar maupun Sunda yang dominan di wilayah sekitarnya. Sebagai bahasa yang terisolasi secara geografis di wilayah pesisir, Dermayu memiliki ciri khas fonologi, leksikon, dan tata bahasa yang membedakannya secara jelas. Keberadaannya menjadi cerminan identitas masyarakat Indramayu yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan atau petani garam, yang kehidupan sehari-harinya sangat terikat dengan laut.
Secara klasifikasi linguistik, Bahasa Dermayu termasuk dalam rumpun bahasa Melayu Lokal atau sering dikelompokkan dalam rumpun Bahasa Jawa (meskipun banyak perdebatan mengenai statusnya yang independen). Namun, pengaruh dari Bahasa Sunda dan Bahasa Melayu Betawi juga terlihat jelas karena interaksi perdagangan dan migrasi historis di jalur pantura (Pantai Utara Jawa). Mempelajari Bahasa Dermayu bukan hanya sekadar menguasai kosakata baru, tetapi juga menyelami nilai-nilai budaya dan cara pandang masyarakat pesisir.
Salah satu pembeda utama Bahasa Dermayu adalah pelafalan huruf 'a' yang cenderung lebih terbuka dan berat, mirip dengan bahasa Jawa dialek pesisir atau bahasa Melayu Pasar lama. Selain itu, penggunaan vokal seperti 'o' dan 'e' seringkali memiliki realisasi yang berbeda dibandingkan bahasa Indonesia baku. Contoh nyata terlihat pada kata ganti orang. Kata ganti orang pertama 'aku' dalam bahasa Indonesia, dalam Dermayu seringkali menjadi 'ingong' atau 'ulun' (tergantung sub-dialek), sementara kata 'kamu' bisa menjadi 'riwong' atau 'ko'.
Dari sisi leksikon, banyak kosakata yang sangat khas dan berhubungan erat dengan kegiatan maritim. Misalnya, istilah untuk perahu, jenis-jenis ikan, atau istilah navigasi memiliki padanan lokal yang spesifik. Kosakata sehari-hari seperti 'Ngarumput' (memancing), 'Ngala' (mengambil), atau ungkapan sapaan seperti 'Sugeng' (selamat datang/salam) menunjukkan akar Austronesia yang kuat. Namun, karena tekanan modernisasi dan dominasi media nasional, banyak kosakata serapan dari bahasa Indonesia yang kini mulai diadopsi, terutama oleh generasi muda.
Meskipun kita sering menyebutnya Bahasa Dermayu secara umum, perlu dicatat bahwa terdapat variasi dialek di dalam wilayah Indramayu. Secara garis besar, bahasa ini terbagi menjadi dua kelompok besar: Dermayu Pesisir (lebih kental dan dekat dengan bahasa Melayu/Krama Jawa lama) dan Dermayu Pedalaman (yang cenderung lebih banyak menyerap pengaruh Sunda dan memiliki pelafalan yang sedikit lebih halus). Perbedaan ini seringkali terlihat jelas ketika membandingkan ucapan dari wilayah utara (seperti Losarang atau Balongan) dengan wilayah selatan yang berbatasan langsung dengan Majalengka atau Cirebon.
Sayangnya, seperti banyak bahasa daerah lainnya, Bahasa Dermayu menghadapi tantangan serius dalam hal pewarisan antar-generasi. Di lingkungan formal dan pendidikan, Bahasa Indonesia wajib digunakan, sementara di rumah tangga, pengaruh bahasa Indonesia dan terkadang bahasa Jawa modern semakin mendominasi percakapan informal. Upaya pelestarian kini banyak dilakukan oleh pegiat budaya lokal melalui seni pertunjukan tradisional seperti 'Renggong Ganjur' atau penulisan karya sastra kontemporer dalam bahasa ini, sebagai cara agar 'Bahasa Dermayu' tetap bernafas dan lestari.
Bahasa Dermayu memiliki peran vital dalam kesenian tradisional Indramayu. Kesenian seperti syair-syair dalam pagelaran wayang kulit dengan dalang berbahasa Dermayu, atau nyanyian-nyanyian rakyat (seperti lagu-lagu pantura), semuanya menggunakan medium bahasa lokal ini. Penggunaan bahasa dalam konteks seni seringkali lebih puitis dan kaya akan metafora yang diambil dari kehidupan laut. Kekuatan bahasa ini terletak pada kemampuannya mengekspresikan nuansa emosi yang sangat spesifik bagi komunitas pesisir. Misalnya, ungkapan tentang ombak yang tenang atau badai yang mengancam seringkali memiliki makna ganda yang hanya bisa dipahami sepenuhnya oleh penutur asli. Upaya dokumentasi linguistik sangat diperlukan untuk memastikan bahwa struktur gramatikal dan kekayaan peribahasa ini tidak hilang ditelan zaman.