Ilustrasi sederhana aksara dan budaya Bali
Bahasa Bali adalah salah satu kekayaan linguistik Indonesia yang memesona. Bahasa ini merupakan bagian integral dari identitas masyarakat Bali, yang secara historis dan budaya sangat kental dengan ajaran Hindu Dharma. Bahasa Bali dituturkan oleh sekitar jutaan jiwa, terutama sebagai bahasa ibu di Pulau Dewata dan beberapa kantong komunitas migran di Lombok, Jawa, serta Kalimantan. Meskipun Bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional dan wajib dalam pendidikan formal, Bahasa Bali tetap berfungsi sebagai bahasa pergaulan sehari-hari, bahasa ritual keagamaan, dan wahana utama dalam kesenian tradisional.
Keunikan Bahasa Bali terletak pada sistem tingkatan tuturan atau yang dikenal sebagai Undha-Usukha Basa Bali. Sistem ini mencerminkan konsep hierarki sosial dan kesopanan yang sangat dijunjung tinggi dalam budaya Bali. Terdapat tingkatan utama: Alus (halus/sopan), Madya (madya/biasa), dan Kasar (kasar/akrab). Penggunaan tingkatan yang tepat sangat krusial; salah menentukan tingkatan dapat dianggap sebagai penghinaan atau ketidaktahuan adat. Misalnya, saat berbicara dengan sulinggih (pendeta Hindu) atau orang yang lebih tua dan dihormati, penggunaan Bahasa Bali Alus adalah sebuah keharusan mutlak.
Secara demografis, Bahasa Bali dituturkan oleh sekitar tiga juta lebih penutur. Sebagian besar penutur terkonsentrasi di Bali. Dalam konteks pariwisata global yang masif, bahasa ini sering kali berinteraksi intens dengan bahasa asing dan Bahasa Indonesia. Tantangan utama yang dihadapi saat ini adalah mempertahankan vitalitas bahasa di tengah arus modernisasi dan globalisasi. Generasi muda Bali, meskipun secara pasif memahami dan sering mendengar bahasa leluhur mereka, cenderung lebih fasih menggunakan Bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari, terutama di lingkungan urban.
Upaya pelestarian terus dilakukan oleh pemerintah daerah dan berbagai lembaga budaya. Salah satu inisiatif penting adalah penetapan regulasi yang mewajibkan penggunaan Bahasa Bali dalam konteks formal tertentu, seperti pada upacara adat, rapat pemerintahan daerah, dan bahkan dalam siaran media lokal. Selain itu, pengenalan aksara Bali—sistem penulisan tradisional yang kaya—juga menjadi fokus. Meskipun aksara Latin lebih dominan dalam literasi modern, upaya untuk mengajarkan kembali aksara Bali di sekolah-sekolah dasar menjadi pondasi penting agar warisan tulis ini tidak hilang ditelan zaman.
Secara historis, Bahasa Bali memiliki akar dari rumpun bahasa Austronesia, serumpun dengan Bahasa Melayu dan Tagalog. Namun, pengaruh kuat dari kebudayaan India, khususnya melalui penyebaran Hindu Dharma, telah memberikan kosakata serapan yang signifikan, terutama dalam ranah spiritual, filosofis, dan tata krama. Kosakata yang berkaitan dengan dewa-dewi, ritual (seperti 'yadnya'), dan filosofi hidup sering kali berasal dari rumpun bahasa Sanskerta yang diadaptasi ke dalam fonologi dan morfologi Bali.
Melalui sistem tingkatan tuturan dan kekayaan kosakatanya, Bahasa Bali menawarkan jendela unik untuk memahami struktur sosial masyarakat Bali yang berbasis pada penghormatan dan harmoni. Bahasa ini bukan sekadar alat komunikasi; ia adalah representasi hidup dari pandangan dunia (worldview) masyarakat Bali, di mana bahasa yang digunakan harus selalu mencerminkan rasa hormat kepada lawan bicara dan tatanan alam semesta. Memahami dan menghargai Bahasa Bali berarti menghargai akar budaya yang menjadikan Bali istimewa di mata dunia.