Ilustrasi perbedaan ekspresi logat.
Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan budaya dan bahasa yang luar biasa. Di antara ratusan dialek yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, terdapat satu varian bahasa Jawa yang sangat khas dan menarik: Bahasa Arekan. Dialek ini umumnya digunakan di wilayah Jawa Timur bagian utara dan tengah, termasuk kota-kota besar seperti Surabaya, Malang, Sidoarjo, Gresik, hingga sekitarnya. Meskipun berakar dari bahasa Jawa, Arekan memiliki ciri khas fonologi dan leksikon yang membedakannya secara signifikan dari Bahasa Jawa standar (Krama atau Ngoko) yang lebih umum dikenal di Jawa Tengah atau Yogyakarta.
Salah satu penanda utama dari Bahasa Arekan adalah penggunaan akhiran vokal 'o' yang tegas. Jika dalam bahasa Jawa standar seseorang menggunakan akhiran 'a' (misalnya, 'Rasa' atau 'Tuku'), dalam Arekan, akhiran tersebut hampir selalu diucapkan 'o'. Contoh paling terkenal adalah kata "tidak" yang menjadi "o'o" atau "ora" (sebagai variasi lokal) dan kata kerja seperti "mangan" (makan) yang sering terdengar menjadi "mengo" atau "ma'an" tergantung konteks kecepatan bicara. Namun, perubahan yang paling ikonik adalah penggunaan kata "Aku" yang menjadi "Kulo" namun sering disingkat atau diucapkan dengan cepat, dan kata tanya "Apa?" yang menjadi "Opo?".
Selain perubahan fonetik, kosa kata atau leksikon adalah pembeda utama. Bahasa Arekan meminjam banyak istilah dari bahasa daerah lain dan juga pengaruh dari bahasa Melayu pasar yang berkembang pesat di pelabuhan-pelabuhan Jawa Timur. Hal ini menciptakan perbendaharaan kata yang lebih dinamis dan seringkali lebih lugas dibandingkan dengan tata bahasa Jawa yang cenderung sangat halus.
Ambil contoh kata untuk "sangat". Dalam Krama, kita menggunakan 'sanget'. Dalam Arekan, sering digunakan kata "Pol" atau "Tenan" yang memberikan penekanan kuat. Demikian pula, istilah seperti "Cak" (untuk laki-laki yang lebih tua atau dihormati) dan "Ning" (untuk perempuan) adalah sapaan khas yang jarang ditemukan dalam dialek Jawa lainnya. Penggunaan kata seru seperti "Rek!" (seruan untuk memanggil teman) adalah ciri khas yang langsung dikenali sebagai Arekan.
"Rek, ojok lali, sesok melu nang warunge Cak Budi!" (Hei kawan, jangan lupa, besok ikut ke warungnya Pak Budi!)
Secara historis, karena Surabaya dan Malang merupakan pusat industri dan perdagangan, Bahasa Arekan seringkali diasosiasikan dengan sifat masyarakat yang pragmatis, terbuka, dan sedikit "keras" dalam bicaranya, dibandingkan dengan kehalusan bahasa Jawa di Jawa Tengah. Dalam hierarki sosial bahasa Jawa, Arekan sering dikategorikan sebagai bahasa Ngoko yang paling informal, meskipun dalam konteks modern, ia telah menjadi identitas budaya yang kuat dan dibanggakan oleh penuturnya.
Perkembangan media massa, terutama di era digital, justru semakin memperkuat posisi Arekan. Banyak komedian, musisi, dan konten kreator yang menggunakan dialek ini, membuatnya semakin populer dan relevan di kalangan generasi muda. Hal ini membuktikan bahwa bahasa daerah tidaklah statis; ia terus beradaptasi sambil tetap mempertahankan esensi budayanya.
Jika dibandingkan dengan bahasa Jawa standar yang memiliki tingkatan tutur yang ketat (Ngoko, Krama Madya, Krama Inggil), Bahasa Arekan cenderung lebih egaliter dalam penggunaan sehari-hari. Meskipun penutur Arekan tetap memahami dan mampu menggunakan tingkatan bahasa Jawa yang lebih baku jika berhadapan dengan orang yang dihormati, dalam interaksi keseharian, mereka cenderung menggunakan bentuk yang lebih sederhana dan langsung. Fleksibilitas ini memudahkan komunikasi cepat, yang sangat dibutuhkan dalam lingkungan kerja yang sibuk.
Sebagai kesimpulan, Arekan bukan sekadar aksen. Ia adalah sebuah sistem linguistik yang kaya, mencerminkan sejarah migrasi, perdagangan, dan karakter masyarakat Jawa Timur. Mempelajari Bahasa Arekan membuka jendela untuk memahami jiwa masyarakatnya yang dinamis dan bersemangat. Bahasa ini terus hidup dan berkembang, menjadi warisan tak ternilai di tengah arus globalisasi.