Jakarta, sebagai ibu kota negara, merupakan melting pot dari berbagai suku bangsa. Namun, di tengah keragaman tersebut, terdapat satu identitas linguistik yang kuat dan unik: Bahasa Adat Betawi. Bahasa ini bukan sekadar dialek, melainkan cerminan sejarah panjang masyarakat lokal yang telah beradaptasi dengan arus migrasi dan perkembangan kota. Bahasa Betawi adalah warisan tak ternilai yang menunjukkan akar budaya asli Jakarta sebelum gemerlap modernitas mengambil alih.
Secara historis, Bahasa Betawi adalah hasil akulturasi yang kaya. Ia menyerap banyak kosakata dari bahasa Melayu Pasar, Sunda, Jawa, Arab, Tionghoa, hingga beberapa serapan dari Belanda. Proses percampuran ini menciptakan sebuah bahasa vernakular yang luwes, ekspresif, dan sangat pragmatis—cocok untuk komunikasi sehari-hari di pelabuhan dagang yang ramai. Pengaruh kuat dari Bahasa Adat Betawi ini bahkan masih terasa dalam bahasa Indonesia modern, terutama dalam penggunaan kata-kata sehari-hari seperti 'gue' (saya) dan 'elu' (kamu).
Salah satu ciri khas utama dari Bahasa Betawi adalah intonasi bicaranya yang cenderung cepat dan cenderung sedikit meninggi di akhir kalimat. Tata bahasanya relatif sederhana dibandingkan bahasa daerah lain di Nusantara. Namun, kekayaan sesungguhnya terletak pada kosakata uniknya yang menggambarkan cara pandang masyarakat Betawi terhadap kehidupan sosial.
Penggunaan kata seru dan partikel penegas sangat menonjol. Misalnya, penggunaan kata "dah" (sudah) atau "nyok" (yuk/mari). Dalam interaksi sehari-hari, bahasa ini sangat menekankan keakraban dan egaliter, meskipun tetap menghargai hierarki melalui pilihan kata tertentu. Memahami konteks sosial adalah kunci untuk menguasai Bahasa Adat Betawi secara utuh.
Betawi: Ngobrol santai, kagak usah banyak cincong, cepetan!
Indonesia: Mengobrol santai, tidak perlu banyak bicara basa-basi, cepatlah!
Keterangan: 'Ngobrol' (bicara), 'Kagak' (tidak), 'Cincong' (basa-basi/omong kosong).
Lebih dari sekadar alat komunikasi, Bahasa Adat Betawi adalah penanda identitas. Ketika seseorang berbicara dengan logat dan kosakata Betawi otentik, hal itu langsung mengasosiasikannya dengan tradisi lokal, baik itu dalam kesenian Lenong, Ondel-Ondel, atau Palang Pintu pernikahan adat. Bahasa ini menjadi perekat komunitas, membedakan 'wong kite' (orang kita) dari pendatang.
Sayangnya, seiring pesatnya urbanisasi dan dominasi Bahasa Indonesia baku di media massa, eksistensi Bahasa Betawi semakin terancam. Generasi muda Betawi modern cenderung lebih fasih berbahasa Indonesia formal atau bahasa pergaulan Jakarta yang lebih baru. Inilah mengapa upaya pelestarian menjadi krusial. Pelestarian bukan berarti mengisolasi bahasa ini, melainkan memasukkannya ke dalam kurikulum lokal atau mengembangkannya dalam seni kontemporer agar tetap relevan dan bernyawa.
Salah satu aspek yang paling menarik dari Bahasa Adat Betawi adalah serapan dari komunitas minoritas yang telah lama berdiam di Batavia. Pengaruh Tionghoa (Melayu-China atau "Betawi Ora") sangat kuat, terlihat dari kata-kata seperti 'ente' (Anda, dari 'lu' yang diserap dari Hokkian), 'gocap' (lima puluh ribu), atau 'babe' (ayah). Sementara itu, pengaruh Arab terlihat dalam kosakata keagamaan dan sapaan sosial. Sintesis linguistik ini menunjukkan toleransi dan keterbukaan masyarakat Betawi kuno dalam menerima budaya luar.
Untuk menjaga agar bahasa ini tidak punah, kesadaran kolektif sangat diperlukan. Mengajarkan anak-anak frasa dasar, mendengarkan rekaman musik Betawi lawas, atau bahkan menonton film yang menampilkan dialog Betawi otentik adalah langkah-langkah kecil namun berarti dalam melestarikan kekayaan Bahasa Adat Betawi. Bahasa ini adalah denyut nadi Jakarta yang sesungguhnya.