Pesona dan Nilai Bahasa Adat Sunda

Pengantar: Kekayaan Budaya Tanah Pasundan

Bahasa Sunda merupakan salah satu bahasa daerah terbesar dan paling kaya di Indonesia. Dituturkan oleh masyarakat yang mendiami sebagian besar wilayah Jawa Barat dan sebagian Banten, bahasa ini bukan sekadar alat komunikasi sehari-hari. Bahasa adat Sunda, yang merupakan akar dari tutur sehari-hari, menyimpan filosofi mendalam dan tatanan sosial masyarakat Sunda yang telah teruji oleh waktu. Memahami bahasa adat ini berarti membuka jendela menuju kearifan lokal yang luhur.

Dalam konteks adat, penggunaan bahasa seringkali dipengaruhi oleh tingkatan penghormatan, usia, dan status sosial pembicara maupun lawan bicara. Sistem ini dikenal dengan sebutan tingkatan bahasa (atau *tatakrama basa*), yang merupakan inti dari bagaimana identitas budaya Sunda terwujud dalam interaksi lisan.

Simbol Aksara Sunda Kuno

Simbolisasi sederhana dari kekayaan visual dan linguistik Sunda.

Struktur Tingkatan Bahasa: Undak-Usuk

Salah satu aspek paling menonjol dari bahasa adat Sunda adalah struktur berlapis yang digunakan dalam berkomunikasi, yang dikenal sebagai Undak-Usuk Basa. Tingkatan ini mengatur pemilihan kata dan akhiran yang tepat. Secara umum, ada dua tingkatan utama: lemes (halus/sopan) dan loma (akrab/santai).

Bahasa Lemes wajib digunakan ketika berbicara kepada orang yang lebih tua, dihormati (seperti tokoh adat, guru, atau orang tua), atau dalam konteks resmi. Contohnya, kata "makan" dalam bahasa lemes adalah neda atau tuang, berbeda dengan bahasa loma yaitu dahar. Kesalahan dalam penerapan tingkatan ini, terutama dalam forum adat, dapat dianggap sebagai pelanggaran etika sosial yang serius.

Selain itu, ada tingkatan lain yang lebih spesifik seperti bahasa untuk anak-anak atau bahasa yang digunakan dalam upacara-upacara adat keraton, yang seringkali menggunakan kosakata arkais dan sangat formal, bahkan terkadang bercampur dengan bahasa Sanskerta.

Fungsi Filosofis dalam Kearifan Lokal

Bahasa adat Sunda tidak hanya mengatur sopan santun, tetapi juga menjadi wadah pelestarian ajaran moral. Banyak pepatah (*paribasa*) dan peribahasa dalam bahasa Sunda mengandung nasihat tentang kesederhanaan, hubungan manusia dengan alam (*mapay elmu tina palemahan*), dan konsep ketuhanan. Misalnya, ungkapan seperti "Ulah lémpang dina lalakon" (Jangan menyimpang dari jalan kebenaran) menunjukkan penekanan pada integritas moral yang diwariskan secara turun-temurun melalui bahasa.

Dalam konteks ritual adat, seperti pernikahan atau ritual panen, pemilihan kata menjadi sangat krusial. Bahasa yang digunakan harus mengandung makna doa, harapan, dan penyerahan diri pada kekuatan yang lebih tinggi. Seringkali, struktur kalimat dalam konteks adat memiliki irama tersendiri yang membedakannya dari percakapan biasa, memberikan suasana sakral dan penuh hormat.

Tantangan dan Upaya Pelestarian

Di era modern, tantangan terbesar bagi bahasa adat Sunda adalah dominasi bahasa nasional dan bahasa global di kalangan generasi muda. Banyak kosakata adat yang kini jarang digunakan, dan kepekaan terhadap perbedaan tingkatan bahasa mulai memudar. Jika dahulu anak-anak secara otomatis mempelajari tingkatan bahasa dari lingkungan keluarga, kini diperlukan upaya edukasi yang lebih terstruktur.

Upaya pelestarian dilakukan melalui berbagai cara, termasuk memasukkan bahasa Sunda sebagai muatan lokal di sekolah-sekolah di Jawa Barat, revitalisasi melalui kesenian (seperti musik Kacapi Suling atau drama tradisional), serta digitalisasi naskah-naskah kuno. Namun, yang paling penting adalah menanamkan kesadaran bahwa bahasa adat bukan sekadar materi pelajaran, melainkan identitas hidup yang harus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, terutama saat berinteraksi dengan tetua adat atau dalam upacara adat. Melestarikan bahasa adat Sunda adalah upaya menjaga jiwa dari kebudayaan Pasundan itu sendiri.