Sektor maritim memainkan peran fundamental dalam perdagangan global, mengangkut lebih dari 80% volume perdagangan dunia. Di jantung operasional armada laut ini adalah kebutuhan konstan akan sumber energi yang kuat dan andal, yaitu bahan bakar kapal laut. Pemilihan jenis bahan bakar, efisiensi penggunaannya, dan dampaknya terhadap lingkungan telah menjadi topik yang semakin mendesak di era regulasi lingkungan yang ketat.
Secara historis, industri pelayaran didominasi oleh bahan bakar berbasis minyak bumi karena kepadatan energinya yang tinggi dan ketersediaannya yang relatif mudah. Namun, perkembangan teknologi dan tuntutan keberlanjutan telah memperkenalkan berbagai alternatif.
HFO, sering juga disebut sebagai "bunker fuel," telah lama menjadi tulang punggung industri perkapalan. Bahan bakar ini merupakan residu kental yang tersisa setelah fraksi minyak mentah yang lebih ringan telah diproses. Keuntungan utama HFO adalah harganya yang relatif murah dibandingkan bahan bakar lainnya. Namun, HFO memiliki kandungan sulfur yang sangat tinggi, menjadikannya sumber utama emisi sulfur oksida ($\text{SO}_x$) yang berbahaya bagi kesehatan dan menyebabkan hujan asam. Regulasi IMO (International Maritime Organization), khususnya IMO 2020, telah membatasi kandungan sulfur maksimum menjadi 0,5% m/m (Mass by Mass) secara global, memaksa banyak kapal untuk beralih atau memasang sistem pembersih gas buang (scrubber).
MGO dan MDO adalah alternatif yang lebih ringan dan memiliki kandungan sulfur yang jauh lebih rendah (biasanya di bawah 0,10% atau 0,50%). Bahan bakar ini sering digunakan di wilayah yang ditetapkan sebagai Zona Kontrol Emisi Sulfur (SECA), seperti Laut Baltik dan Laut Utara, atau digunakan oleh kapal yang tidak dilengkapi dengan scrubber. Meskipun lebih bersih daripada HFO, bahan bakar distilat ini lebih mahal dan memiliki viskositas yang lebih rendah, yang memerlukan penyesuaian pada sistem pembakaran kapal.
VLSFO muncul sebagai solusi langsung untuk memenuhi batas sulfur IMO 2020. Bahan bakar ini merupakan campuran dari HFO dan minyak yang lebih ringan, dirancang untuk memenuhi batas sulfur 0,5% sambil mempertahankan karakteristik yang lebih dekat dengan HFO daripada MGO. Penggunaan VLSFO seringkali menimbulkan tantangan kompatibilitas dan stabilitas penyimpanan di kapal.
Dorongan untuk dekarbonisasi pelayaran mendorong eksplorasi masif terhadap sumber bahan bakar kapal laut yang nol atau sangat rendah karbon. Transisi ini sangat penting untuk mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca sektor maritim.
LNG adalah bahan bakar transisi yang populer. Saat dibakar, LNG menghasilkan emisi $\text{SO}_x$ dan partikulat hampir nol, serta mengurangi emisi $\text{CO}_2$ sekitar 20-25% dibandingkan HFO. Tantangannya terletak pada infrastruktur bunkering (pengisian bahan bakar) yang masih terbatas dan isu kebocoran metana (methane slip), gas rumah kaca yang jauh lebih kuat daripada $\text{CO}_2$ dalam jangka pendek.
Metanol (baik sintetik maupun bio-metanol) menawarkan potensi signifikan karena kemudahannya dalam penanganan dibandingkan LNG. Sementara itu, amonia (tanpa karbon saat dibakar) dianggap sebagai solusi jangka panjang yang menjanjikan, meskipun memerlukan penanganan keselamatan yang ketat karena toksisitasnya.
Bahan bakar sintetis (e-fuels) yang diproduksi menggunakan energi terbarukan dan hidrogen hijau menawarkan jejak karbon yang sangat rendah, tetapi saat ini masih sangat mahal untuk diproduksi dalam skala besar yang dibutuhkan oleh industri pelayaran global.
Mengubah jenis bahan bakar kapal laut bukanlah sekadar mengganti tangki. Setiap jenis bahan bakar memerlukan modifikasi signifikan pada mesin, sistem penyimpanan, dan prosedur operasional. Misalnya, mesin yang diadaptasi untuk LNG atau metanol memerlukan desain ulang yang kompleks. Selain itu, harga bahan bakar alternatif yang lebih hijau cenderung lebih tinggi saat ini, menciptakan dilema ekonomi bagi operator kapal yang harus menyeimbangkan kepatuhan lingkungan dengan profitabilitas operasional di pasar yang sangat kompetitif.
Kesimpulannya, masa depan industri maritim bergantung pada inovasi berkelanjutan dalam penyediaan dan penggunaan bahan bakar kapal laut. Transisi ini memerlukan investasi besar, kolaborasi internasional, dan kebijakan yang jelas untuk memastikan perdagangan global tetap berjalan efisien sekaligus meminimalkan jejak ekologisnya.