At Taubah ayat 114 merupakan salah satu penggalan ayat dalam Surah At Taubah (surah kesembilan dalam Al-Qur'an) yang mengandung pelajaran mendalam mengenai pentingnya taubat, menjauhi perbuatan dosa, serta konsekuensi hubungan sosial dengan pelaku maksiat. Ayat ini secara eksplisit menyoroti adab seorang Muslim dalam menghadapi orang yang secara terang-terangan melakukan kemaksiatan, khususnya yang berkaitan dengan sumpah palsu atau pelanggaran janji suci.
وَالَّذِينَ اجْتَنَبُوا الطَّاغُوتَ وَأَنَابُوا إِلَى اللَّهِ لَهُمُ الْبُشْرَىٰ ۖ فَبَشِّرْ عِبَادِ ﴿١١٤﴾ الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ ۚ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَٰئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ ﴿١١٤﴾
Ayat ini, yang sering kali dibaca bersamaan dengan ayat sebelumnya, menekankan dua kategori utama hamba Allah yang berhak menerima kabar gembira (Al-Busyra). Kategori pertama adalah mereka yang secara tegas menjauhi segala bentuk "Thaghut" dan kembali (bertaubat) kepada Allah SWT. Thaghut dalam konteks ini merujuk pada segala sesuatu yang diagungkan selain Allah, termasuk perbuatan dosa besar, berhala, pemimpin zalim, atau hawa nafsu yang menyesatkan.
Penggalan pertama ayat ini menetapkan standar moral yang tinggi bagi seorang mukmin. Menjauhi Thaghut bukan sekadar menjauhi secara fisik, tetapi juga secara ideologis dan spiritual. Ini berarti menolak segala bentuk penindasan, penyembahan selain Allah, dan segala praktik yang bertentangan dengan syariat-Nya. Ketika seseorang telah membersihkan lingkungannya dari pengaruh Thaghut, langkah selanjutnya adalah "inabah," yaitu kembali sepenuhnya dan bersungguh-sungguh kepada Allah. Inabah mengandung makna penyesalan yang tulus atas masa lalu dan tekad kuat untuk taat di masa depan.
Janji dari ketaatan ini sangatlah besar: "lahumul busyra" (mereka memperoleh kabar gembira). Kabar gembira ini mencakup kebahagiaan di dunia (ketenangan jiwa dan pertolongan Allah) serta surga yang dijanjikan di akhirat.
Selanjutnya, ayat ini mengidentifikasi ciri-ciri spesifik dari hamba-hamba yang dijanjikan kabar gembira tersebut: "Alladzina yastami’uuna al-qaula fa yattabi’uuna ahsanah." Mereka adalah orang-orang yang mendengarkan perkataan dan kemudian mengikuti yang terbaik di antaranya.
Bagaimana kita menafsirkan "perkataan" dan "yang terbaik"? Dalam tafsir klasik, perkataan yang dimaksud adalah Al-Qur'an dan ajaran Rasulullah SAW. Mereka tidak hanya mendengar ayat-ayat Allah atau hadis Nabi, tetapi mereka juga menganalisisnya secara kritis (dalam artian positif, yakni mencari pemahaman yang paling benar) dan mengaplikasikan yang paling sempurna dari ajaran tersebut dalam kehidupan mereka. Ini menunjukkan bahwa iman yang sejati memerlukan intelektualitas dan kearifan dalam mengambil keputusan. Mereka adalah tipe orang yang tidak mudah terpengaruh oleh opini populer atau godaan sesaat, melainkan mencari landasan utama kebenaran.
Ayat ditutup dengan penegasan status mereka: "Ulaika alladzina hada humullah wa ulaika hum ulul albab." Allah telah memberikan petunjuk kepada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang memiliki akal (ulul albab).
Konsep "ulul albab" sangat penting. Ulul albab bukanlah sekadar orang yang cerdas secara akademis, melainkan orang yang menggunakan akal sehatnya untuk mengenal Allah, membedakan antara kebenaran dan kebatilan, dan pada akhirnya, menundukkan akal tersebut kepada wahyu Ilahi. Akal mereka menjadi alat untuk mencapai petunjuk, bukan menjadi penghalang bagi kebenaran. Mereka yang berhasil menundukkan hawa nafsu dan memfungsikan akal sesuai bimbingan Ilahi, merekalah yang sejatinya menerima "busyra" abadi.
Oleh karena itu, At Taubah ayat 114 menjadi cetak biru spiritual: jauhi kemaksiatan, bertobatlah dengan sungguh-sungguh, dengarkan kebenaran, aplikasikan yang terbaik dari kebenaran itu, dan dengan demikian, Anda akan menjadi orang yang mendapatkan petunjuk Allah dan meraih kebahagiaan sejati sebagai pemilik akal yang murni. Totalitas penyerahan diri inilah yang menjadi inti dari pengamalan ayat ini dalam kehidupan sehari-hari seorang Muslim.