Kajian terhadap Al-Qur'an sering kali membawa kita pada ayat-ayat yang menguatkan keyakinan fundamental umat Islam, salah satunya adalah mengenai kekuasaan mutlak Allah SWT. Salah satu ayat kunci yang menegaskan hal ini adalah At Taubah ayat 116. Ayat ini mengandung peringatan keras sekaligus penegasan ulang akan kedudukan Tuhan semesta alam sebagai pemilik segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi.
Dalam konteks turunnya Surah At-Taubah, ayat ini menjadi penutup sekaligus penegasan setelah serangkaian perintah dan larangan yang berkaitan dengan peperangan, solidaritas umat, dan pemurnian akidah. Ayat 116 berfungsi sebagai fondasi teologis yang mendasari semua hukum dan etika yang dibahas sebelumnya.
Pernyataan "bagi Allah jualah kepunyaan segala yang ada di langit dan yang ada di bumi" adalah klaim kepemilikan yang absolut dan tanpa tandingan. Ini berarti bahwa segala sesuatu—mulai dari atom terkecil, planet, bintang, hingga segala bentuk kehidupan dan keberadaan—berasal dari-Nya dan berada di bawah kendali-Nya. Ketika seorang mukmin memahami hakikat ini, rasa takut terhadap selain Allah akan berkurang, digantikan oleh rasa tunduk dan bergantung sepenuhnya kepada Sang Pencipta.
Konsekuensi logis dari kepemilikan ini adalah bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini pasti berada dalam kerangka ilmu dan kehendak-Nya. Tidak ada satu peristiwa pun yang luput dari pengawasan-Nya. Hal ini sangat relevan dalam konteks sosial dan spiritual. Dalam situasi sulit, ayat At Taubah ayat 116 mengingatkan bahwa pertolongan sejati hanya datang dari Dzat yang menguasai segala sumber daya.
Bagian kedua ayat, "Dan kepada-Nya-lah dikembalikan segala urusan," memperkuat pesan tentang kedaulatan Allah (Rububiyyah). Ini merujuk pada hari Kiamat, di mana semua urusan akan selesai dan dihakimi oleh-Nya. Namun, secara praktis, pengembalian urusan ini juga terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Ketika manusia berikhtiar, hasil akhir dari ikhtiar tersebut dikembalikan kepada kehendak Allah.
Ayat ini mendorong seorang Muslim untuk menjalani hidup dengan tawakal yang benar. Tawakal bukan berarti pasif, melainkan berusaha semaksimal mungkin (ikhtiar) sambil menyerahkan hasilnya kepada Allah. Ketika seseorang menghadapi pilihan sulit, kehilangan harta, atau menghadapi kekalahan, mengingat bahwa semua urusan pada akhirnya akan kembali kepada Allah memberikan ketenangan jiwa yang tak ternilai harganya. Ia melepaskan beban kekhawatiran duniawi kepada pemilik tunggal segala urusan tersebut.
Memahami At Taubah ayat 116 memiliki implikasi etis yang mendalam. Jika segala sesuatu adalah milik Allah, maka manusia hanyalah pemegang titipan (khalifah) atas apa yang ada di tangannya. Harta, jabatan, bahkan tubuh ini adalah amanah. Kewajiban seorang mukmin adalah mengelola amanah tersebut sesuai dengan keridhaan Pemiliknya, bukan menurut hawa nafsu pribadi.
Ayat ini juga berfungsi sebagai koreksi terhadap kesombongan dan perbudakan duniawi. Ketika seseorang merasa dirinya memiliki kekuasaan atau kekayaan yang mutlak, ia telah melupakan hakikat ayat ini. Ayat tersebut menegaskan bahwa kekuasaan sejati hanya milik Allah, sehingga seorang mukmin harus menjauhi sifat riya' (pamer) dan keserakahan yang tidak berdasar.
Kesimpulannya, At Taubah ayat 116 adalah pilar keimanan yang menuntut penghambaan total. Ia mengajarkan bahwa kepemilikan adalah ilusi temporal manusia, sementara kepemilikan sejati dan absolut adalah milik Allah. Dengan demikian, hidup seorang Muslim seharusnya diorientasikan untuk memenuhi mandat Ilahi atas apa yang telah dititipkan kepadanya, sembari senantiasa mengembalikan segala hasil usahanya kepada Sang Penguasa Langit dan Bumi.