Dalam lembaran suci Al-Qur'an, terdapat ayat-ayat yang berfungsi sebagai kompas bagi umat manusia dalam menghadapi pasang surut kehidupan. Salah satu ayat yang mengandung makna mendalam tentang prioritas keimanan, terutama saat menghadapi kesulitan, adalah Surah At-Taubah ayat ke-150. Ayat ini merupakan penegasan tegas mengenai konsekuensi dari loyalitas yang terbagi.
"Wala in taba'tahum min ba'di ma ja'aka minal 'ilmi ma laka minallahi min waliyyin wa la nasir."
Konteks Sejarah dan Permasalahan Prioritas
Ayat ini diturunkan dalam konteks peperangan dan tantangan besar yang dihadapi oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Di tengah gesekan antara kaum mukminin yang berjuang di jalan Allah dan mereka yang memilih untuk mundur atau mencari perlindungan palsu dari kaum musyrik atau munafik, Allah SWT memberikan peringatan keras. Inti dari peringatan ini adalah penolakan terhadap sikap setengah hati.
Ayat 150 secara spesifik ditujukan kepada orang-orang yang, meskipun telah menyaksikan kebenaran dan menerima ilmu (wahyu) dari Allah melalui Nabi-Nya, masih cenderung mengikuti keinginan atau pola pikir orang-orang kafir ketika mereka dihadapkan pada cobaan, seperti ketakutan akan kekalahan perang atau godaan harta dunia.
Peringatan Tegas: Larangan Mengikuti Jahil
Terjemahan dari ayat ini secara umum menekankan bahwa "dan sekiranya kamu menuruti kemauan mereka setelah datang kepadamu ilmu pengetahuan, maka sesungguhnya kamu termasuk golongan orang-orang yang zalim." Kata kunci di sini adalah "setelah datang kepadamu ilmu pengetahuan." Ilmu yang dimaksud adalah ilmu wahyu, yaitu kebenaran hakiki yang dibawa oleh Rasulullah.
Mengikuti kemauan orang-orang yang tidak beriman, meskipun mereka tampak kuat atau memiliki kekuasaan sesaat, setelah seseorang telah menerima petunjuk yang jelas (ilmu), adalah sebuah kezaliman—baik kezaliman terhadap diri sendiri maupun terhadap kebenaran yang diyakini. Ini menunjukkan bahwa landasan amal perbuatan harus selalu berakar pada wahyu, bukan pada logika atau pertimbangan sementara yang didasarkan pada ketakutan duniawi.
Implikasi Kontemporer At-Taubah 150
Meskipun latar belakang ayat ini berkaitan dengan kondisi sosial dan militer di masa Rasulullah, pesan universalnya tetap relevan hingga kini. Dalam kehidupan modern, "kemauan mereka" dapat diinterpretasikan sebagai tekanan sosial, tren hedonisme, materialisme yang berlebihan, atau ideologi yang bertentangan dengan prinsip tauhid.
Ketika seorang Muslim dihadapkan pada pilihan antara mempertahankan prinsip keislamannya (ilmu yang telah didapat) atau berkompromi demi kenyamanan, popularitas, atau keuntungan sesaat (kemauan mereka), ayat ini menjadi pengingat tajam. Kompromi tersebut dianggap sebagai bentuk penyimpangan serius yang dapat menjauhkan seseorang dari naungan Allah.
Konsekuensi Spiritual: Tanpa Pelindung dan Penolong
Bagian akhir ayat ini, "...maka sesungguhnya kamu termasuk golongan orang-orang yang zalim," diikuti oleh konsekuensi spiritual yang sangat berat: "kamu tidak akan mendapatkan pelindung (waliyy) dan penolong (nasir) sedikit pun dari Allah."
Pelindung dan penolong di sini merujuk pada pertolongan khusus dari Allah SWT, baik di dunia maupun di akhirat. Ketika seseorang secara sadar memilih untuk menolak kebenaran yang telah ia ketahui demi menyenangkan pihak yang zalim atau yang tersesat, ia kehilangan jaminan pertolongan ilahi. Ini menekankan pentingnya konsistensi (istiqamah) setelah menerima hidayah. Iman harus menjadi prinsip yang tidak tergoyahkan oleh gelombang godaan eksternal.
Oleh karena itu, At-Taubah ayat 150 bukan sekadar larangan, melainkan seruan untuk menguatkan fondasi keimanan. Setelah ilmu diterima, tanggung jawab untuk mengamalkannya secara utuh menjadi mutlak, agar senantiasa berada di bawah lindungan dan pertolongan Allah SWT.