Ilustrasi simbolis mengenai janji dan pelanggaran perjanjian.
Surah At-Taubah, atau yang dikenal sebagai Surah Bara’ah (Pernyataan Perpisahan), memiliki konteks historis yang sangat penting dalam sejarah Islam, yaitu terkait dengan pembatalan perjanjian antara kaum Muslimin di Madinah dengan beberapa kabilah musyrikin Mekah. Di tengah narasi besar ini, terdapat ayat-ayat spesifik yang menyoroti prinsip-prinsip etika dan akidah, salah satunya adalah Surah At-Taubah ayat 12.
Ayat ini menjadi penegasan otoritas ilahiah terhadap kebijakan sosial dan politik yang diambil oleh Rasulullah SAW. Ia menjelaskan konsekuensi bagi pihak-pihak yang melanggar ikrar mereka.
Ayat ini berbunyi: "Dan jika mereka melanggar sumpah mereka sesudah membuat perjanjian, dan mereka mencela agamamu, maka perangilah (pimpininan) orang-orang yang ingkar itu, sesungguhnya mereka itu tiada berpegang pada sumpah (iman); supaya mereka berhenti (dari kekafiran)."
Ayat ini memuat tiga kondisi utama yang memicu respons tegas dari pihak Muslimin:
Pada tahun ke-9 Hijriah, situasi politik di Jazirah Arab memanas. Setelah penaklukan Mekah, beberapa kabilah yang sebelumnya terikat perjanjian damai dengan Nabi Muhammad SAW mulai menunjukkan gelagat tidak loyal. Mereka merasa terdesak oleh dominasi Islam dan mulai melanggar kesepakatan yang telah dibuat.
Perjanjian damai, meskipun penting dalam membangun stabilitas, bukanlah ikatan yang absolut jika pihak lain secara terang-terangan mengkhianatinya sambil aktif memusuhi dan meremehkan keyakinan Muslim. Ayat ini turun sebagai justifikasi ilahiah untuk mengambil tindakan militer defensif dan korektif terhadap para pelanggar perjanjian yang garis keras. Fokusnya adalah pada "pemimpin kekafiran," menunjukkan bahwa penindakan keras ditujukan pada pusat komando musuh yang secara aktif menyebarkan permusuhan dan pelanggaran.
Walaupun ayat ini berbicara tentang perang dan pelanggaran perjanjian, ia secara fundamental menyoroti betapa pentingnya amanah (kepercayaan) dan menepati janji dalam Islam. Islam sangat menekankan kejujuran dan konsistensi dalam setiap ikrar, baik secara pribadi maupun dalam hubungan antar-negara atau antar-kabilah.
Sikap tidak memegang janji, yang dalam ayat ini dikaitkan dengan kekufuran (karena "mereka itu tidak punya sumpah/iman yang teguh"), menunjukkan bahwa melanggar janji adalah tindakan yang sangat tercela di mata syariat. Ketika perjanjian dilanggar, dan penghinaan terhadap keyakinan terjadi, maka perlindungan perjanjian tersebut otomatis gugur, dan pihak yang dirugikan dibenarkan untuk mengambil langkah tegas demi menjaga eksistensi dan kehormatan agamanya.
Dalam konteks modern, At-Taubah 12 mengingatkan umat Islam bahwa kehormatan perjanjian adalah pilar interaksi. Meskipun konteks peperangan abad ke-7 berbeda dengan diplomasi abad modern, prinsip dasarnya tetap relevan: integritas dan keandalan dalam setiap komitmen harus dijaga. Jika suatu pihak dalam kesepakatan secara terang-terangan mengkhianati poin-poin vital sambil melakukan agresi verbal atau substansial terhadap nilai-nilai inti, maka landasan kerjasama tersebut telah rusak.
Ayat ini mengajarkan bahwa kebebasan beragama dan kehormatan keyakinan harus dipertahankan. Ketika musuh tidak hanya berperang secara fisik tetapi juga menyerang fondasi spiritual melalui cemoohan (tha'n), respons yang diberikan harus proporsional dan ditujukan untuk menghentikan kezaliman tersebut. Tujuannya bukan sekadar membalas, tetapi agar mereka "berhenti dari kekafiran" atau permusuhan, menunjukkan orientasi akhir ayat adalah pada penghentian konflik yang merusak.
Memahami Surah At-Taubah ayat 12 memerlukan penelusuran mendalam terhadap sejarah dan prinsip etika jihad yang sebenarnya, yaitu sebagai tindakan yang memiliki batasan dan justifikasi hukum yang jelas, terutama terkait dengan kehormatan janji dan pembelaan terhadap integritas ajaran Islam.