Dalam sejarah filsafat alam, perdebatan mengenai hakikat materi adalah salah satu yang paling mendalam dan berkelanjutan. Jauh sebelum ilmu kimia modern mengkristalkan teori atom, dua pandangan besar saling bertarung: pandangan Demokritus yang mengusulkan keberadaan partikel tak terbagi (atomos), dan pandangan yang didominasi oleh Aristoteles. Meskipun nama Aristoteles sering dikaitkan dengan pencarian pengetahuan sistematis, ironisnya, ia secara tegas menolak ide dasar dari teori atom.
Bagi Aristoteles, alam semesta adalah sebuah kontinuitas. Idé bahwa materi terdiri dari partikel-partikel kecil yang tak terbagi—sebuah pandangan yang dibawa oleh Leukippus dan muridnya, Demokritus—bertentangan langsung dengan observasi dan kerangka metafisika yang ia kembangkan. Aristoteles berpendapat bahwa jika materi terdiri dari atom yang terpisah dan memiliki ruang kosong (vakum) di antara mereka, maka mustahil menjelaskan bagaimana benda-benda dapat saling berinteraksi, bergerak, atau berubah secara mulus.
Inti dari argumennya terletak pada penolakannya terhadap keberadaan vakum. Jika ada ruang kosong, bagaimana mungkin alam semesta tidak menjadi kacau? Gerakan hanya mungkin terjadi jika ada medium yang menopang atau menolak. Oleh karena itu, alam haruslah padat dan penuh (horror vacui). Jika tidak ada ruang kosong, maka materi harus dapat dibagi tanpa batas. Konsep pembagian tak terbatas ini menghilangkan kebutuhan akan 'unit dasar' atau atom.
Sebagai gantinya, Aristoteles mengusulkan model materi yang lebih intuitif dan berdasarkan pengamatan sehari-hari: Empat Elemen Dasar—Tanah, Air, Udara, dan Api. Keempat elemen ini bukan sekadar zat, melainkan kombinasi dari empat kualitas fundamental: Kering, Basah, Dingin, dan Panas. Tanah adalah kombinasi Kering dan Dingin; Air adalah Basah dan Dingin, dan seterusnya.
Model ini memungkinkan perubahan yang mulus. Sebuah benda bisa berubah dari air menjadi udara (misalnya melalui pemanasan) karena sifat kualitasnya dapat bergeser secara bertahap, bukan karena atom-atom menyusun ulang diri mereka secara diskret. Pandangan ini memberikan kerangka kerja yang kuat untuk menjelaskan fenomena fisika dan kimia pada zamannya, dan karena otoritas Aristoteles yang sangat besar, teorinya mendominasi pemikiran Barat selama hampir dua milenium.
Meskipun teori Aristoteles berhasil menekan perkembangan teori atom, gagasan Demokritus tidak pernah sepenuhnya hilang. Ia bertahan dalam filsafat Islam dan dalam tradisi filosofis minor Eropa.
Kebangkitan kembali ide atom pada era modern, terutama melalui karya Dalton, didorong oleh perkembangan empiris dalam stoikiometri kimia. Ketika ilmuwan mulai mengukur rasio massa dalam reaksi kimia, mereka menemukan bahwa materi berperilaku seolah-olah terdiri dari unit-unit diskret yang memiliki berat tetap—sebuah perilaku yang sulit dijelaskan oleh model kontinuitas Aristoteles.
Pada akhirnya, meskipun Aristoteles secara metodis menyusun argumen yang mematikan bagi konsep atom pada masanya, kemajuan ilmu pengetahuan akhirnya membuktikan bahwa di balik kontinuitas yang kita rasakan, terdapat diskontinuitas fundamental yang disebut atom. Debat antara kontinuitas versus diskontinuitas materi adalah cerminan awal dari bagaimana filsafat membentuk sains, dan bagaimana sains pada akhirnya menantang dan merevisi filsafat yang mapan.