Ilustrasi perbandingan suara yang memicu polemik.
Wacana publik sering kali menjadi medan pertempuran ideologi, dan salah satu isu yang memicu perdebatan sengit dalam beberapa waktu terakhir adalah pernyataan yang menyamakan lantunan azan, panggilan suci bagi umat Muslim untuk salat, dengan suara gonggongan anjing. Pernyataan kontroversial ini, meskipun sering kali dilontarkan oleh pihak yang berseberangan secara ideologis, telah menimbulkan gelombang reaksi kuat dari berbagai kalangan, terutama komunitas Muslim yang menganggap hal tersebut sebagai bentuk penghinaan mendalam terhadap simbol keagamaan mereka.
Kontekstualisasi dan Sensitivitas Agama
Azan adalah elemen fundamental dalam praktik keagamaan Islam. Dilantunkan lima kali sehari, azan memiliki struktur melodi, ritme, dan makna teologis yang sangat dihormati. Di banyak negara, termasuk Indonesia, lantunan azan adalah bagian tak terpisahkan dari lanskap akustik kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, menyamakannya dengan suara hewan, apalagi gonggongan anjing—yang dalam banyak konteks dianggap sebagai suara bising atau rendah—bukan sekadar kritik terhadap volume atau durasi, melainkan serangan langsung terhadap kesakralan ibadah.
Dalam studi perbandingan agama dan sosiologi komunikasi, perbedaan antara "suara sakral" dan "suara profan" sangatlah jelas. Azan, dalam konteks Islam, berfungsi sebagai panggilan transendental yang mengingatkan manusia pada kewajiban spiritualnya. Sebaliknya, gonggongan anjing adalah suara yang dikaitkan dengan komunikasi hewan mamalia, tanpa konotasi spiritual dalam narasi Islam. Ketika dua entitas yang secara kategori sangat berbeda disamakan, tujuan utamanya sering kali adalah de-legitimasi atau merendahkan salah satu pihak di mata publik.
Sumber dan Dampak Polemik
Kontroversi semacam ini biasanya muncul dalam konteks isu moderasi beragama, pengaturan kebisingan, atau ketegangan antar-kelompok mayoritas dan minoritas. Beberapa pihak mungkin menggunakan perbandingan ini sebagai argumen bahwa volume pengeras suara masjid terlalu mengganggu, namun pilihan diksi yang digunakan—menggunakan metafora 'gonggongan anjing'—secara inheren bersifat merendahkan dan provokatif. Ketika perbandingan ini diucapkan oleh tokoh publik atau tokoh agama yang memiliki pengaruh, dampaknya berlipat ganda.
Dampaknya tidak hanya terbatas pada ranah perdebatan akademis atau media sosial. Bagi umat Islam, pernyataan ini dapat memicu rasa sakit hati, kemarahan, dan perasaan bahwa identitas mereka sedang diserang. Hal ini berpotensi meningkatkan polarisasi sosial dan memperburuk iklim toleransi antarumat beragama. Isu ini mengingatkan kita bahwa dalam masyarakat multikultural, penggunaan bahasa haruslah diukur dengan cermat, terutama ketika menyentuh ranah keyakinan.
Peran Regulasi dan Dialog
Meskipun kebebasan berekspresi dijamin, batasan etika dan hukum seringkali berlaku ketika ekspresi tersebut mengarah pada ujaran kebencian atau penghinaan terhadap kelompok agama tertentu. Di banyak yurisdiksi, termasuk Indonesia, pelecehan terhadap simbol agama dapat memiliki konsekuensi hukum. Oleh karena itu, polemik mengenai adzan dan perbandingannya dengan gonggongan anjing ini menuntut adanya kajian serius mengenai batasan retorika publik.
Di sisi lain, komunitas Muslim juga dihadapkan pada tantangan untuk merespons secara konstruktif. Respons yang berlebihan atau reaktif hanya akan memanaskan situasi. Dialog yang berfokus pada pemahaman fungsi azan—bukan hanya suara, tetapi juga pesan—dan membahas masalah teknis (seperti pengaturan volume) secara terpisah dari aspek penghinaan, seringkali menjadi jalur yang lebih produktif. Dialog yang jujur tentang bagaimana praktik keagamaan dapat berdampingan dengan kehidupan masyarakat non-Muslim adalah kunci untuk meredam api kontroversi semacam ini.
Kesimpulan
Penyamaan azan dengan gonggongan anjing adalah sebuah insiden retoris yang menyoroti betapa tipisnya batas antara kritik yang sah dan penghinaan yang melukai. Dalam konteks sosial yang sensitif terhadap isu keagamaan, kata-kata memiliki kekuatan destruktif jika tidak digunakan dengan penuh tanggung jawab. Menjaga kesucian simbol keagamaan bagi penganutnya adalah prasyarat untuk membangun masyarakat yang saling menghormati, terlepas dari perbedaan keyakinan yang ada.