Dalam pewayangan Jawa, khususnya pada lakon-lakon kreasi baru atau dalam konteks humor, karakter Bagong sering kali mengambil peran yang lebih ekstrem dari biasanya. Meskipun ia adalah bungsu dari Punakawan (bersama Semar, Gareng, dan Petruk), Bagong yang "edan" adalah manifestasi dari kebebasan berekspresi sang dalang. Kata 'edan' di sini tidak selalu berarti gila dalam konotasi medis, melainkan melambangkan kegilaan panggung, humor yang tak terduga, dan sering kali menjadi medium kritik sosial yang paling tajam.
Bagong, dengan fisik yang paling tambun dan wajah yang paling ekspresif (sering digambarkan dengan mata melotot dan mulut yang lebar), secara inheren adalah karakter komedi. Namun, ketika ia didapuk sebagai 'Bagong Edan', batas-batas etika dan kepatutan naratif tradisional sering kali dilanggar. Ia menjadi cermin yang memantulkan kebobrokan atau keanehan zaman dengan cara yang tidak akan berani dilakukan oleh tokoh panakawan lainnya, apalagi oleh para ksatria atau dewa.
Salah satu daya tarik utama dari Bagong Edan adalah kemampuannya membongkar kepalsuan tanpa disadari oleh para tokoh utama. Dalam tradisi wayang, Punakawan adalah penasihat spiritual, namun Bagong sering bertindak sebagai "badut politik." Ketika ia bertingkah 'edan', ia dapat melontarkan sindiran keras mengenai korupsi, kesewenangan penguasa, atau kemunafikan masyarakat. Karena ia dianggap tidak waras, ucapannya seringkali diterima sebagai lelucon belaka, padahal intinya menusuk sasaran.
Kegilaan Bagong juga sering digunakan untuk memecah ketegangan dramatis. Sebuah adegan perang yang mencekam bisa tiba-tiba diredam oleh tingkah laku konyol Bagong yang menirukan tokoh sakti, menciptakan tawa lega di antara penonton sebelum narasi kembali ke alur utama. Ini menunjukkan betapa fleksibelnya figur wayang kulit; ia bisa menjadi filosof tersembunyi dan sekaligus penghibur paling vulgar dalam satu malam pertunjukan.
Di era modern, eksplorasi sosok Bagong Edan menjadi semakin relevan. Dalang kontemporer sering memanfaatkan Bagong untuk membahas isu-isu kontemporer seperti media sosial, politik digital, atau isu lingkungan yang seringkali terlalu serius untuk dibicarakan secara lugas. Figur Bagong Edan memungkinkan dalang untuk "bermain aman" sambil tetap menyampaikan pesan radikal. Ia adalah 'joker' dalam dek permainan budaya.
Dinamika hubungan antara Bagong dengan sang dalang sangat penting. Kekuatan penampilan Bagong Edan bergantung pada keahlian sang dalang dalam menirukan suara, intonasi, dan dialog improvisasi yang spontan. Ketika dialog antara Bagong dan dalang mencapai klimaksnya, penonton seolah-olah menyaksikan dua entitas yang bertarung di panggung—kearifan Semar melawan kebebasan liar Bagong. Keberhasilan penggambaran 'kegilaan' ini adalah ujian sejati bagi seorang maestro seni pedalangan.
Sebagai kesimpulan, Bagong Edan bukan sekadar karakter lucu. Ia adalah arketipe pemberontak yang bersembunyi di balik topeng humor. Ia mengingatkan kita bahwa di balik tatanan yang kaku, selalu ada ruang untuk absurditas yang mengandung kebenaran mendalam. Dalam setiap gerakan kulitnya yang terkesan tidak menentu, tersembunyi pelajaran moral yang disampaikan dengan cara yang paling mudah dicerna: melalui tawa yang terkadang terasa getir.