Dalam khazanah keilmuan Islam, terdapat banyak sekali konsep fundamental yang membentuk kerangka berpikir dan praktik umat Muslim. Salah satu konsep yang sangat penting, meskipun mungkin tidak selalu menjadi sorotan utama, adalah wasaturodduna. Istilah ini, yang berakar kuat dalam terminologi Al-Qur'an, merujuk pada prinsip moderasi, keseimbangan, dan jalan tengah. Memahami makna wasaturodduna bukan sekadar menghafal istilah, melainkan menginternalisasi sebuah etos hidup yang menolak ekstremitas dalam segala bentuknya.
Ilustrasi konsep keseimbangan (Wasat)
Akar Historis Wasaturodduna
Konsep ini secara eksplisit disebutkan dalam Surah Al-Baqarah ayat 143: "Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan (wasat), agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu." Kata kunci di sini adalah "umat wasat". Dalam konteks ayat ini, "wasat" diartikan sebagai komunitas yang adil, pilihan, dan seimbang. Ini menegaskan bahwa posisi umat Islam di antara umat-umat lain adalah posisi yang moderat—tidak terlalu jauh ke kiri (terlalu longgar atau liberal) dan tidak terlalu jauh ke kanan (terlalu kaku atau ekstrem).
Dimensi Penerapan dalam Kehidupan
Penerapan wasaturodduna meluas ke hampir setiap aspek kehidupan seorang Muslim. Dalam bidang akidah, misalnya, seorang Muslim harus menyeimbangkan antara iman yang kuat tanpa jatuh ke dalam takhayul buta, serta penggunaan akal sehat tanpa menolak wahyu. Dalam ibadah, moderasi menuntut ketekunan tanpa menimbulkan kelelahan atau mengabaikan hak-hak duniawi. Seseorang tidak boleh terlalu fanatik dalam ritual sehingga melupakan kebutuhan keluarga atau masyarakat.
Dalam interaksi sosial dan politik, prinsip ini sangat relevan di era modern yang penuh gejolak. Wasaturodduna menuntut sikap yang dialogis, menghargai perbedaan pendapat, dan menolak narasi pemecah belah yang seringkali timbul akibat sikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam pandangan. Ketika dihadapkan pada masalah sosial atau hukum, mencari solusi yang paling adil dan proporsional—bukan solusi yang paling emosional atau paling kaku—adalah wujud nyata dari wasaturodduna. Ini adalah jalan yang menjembatani idealisme dengan realitas praktis yang dihadapi manusia.
Menghindari Dua Kutub Ekstrem
Untuk benar-benar mengamalkan wasaturodduna, kita perlu secara aktif menghindari dua kutub ekstrem: ghuluw (berlebih-lebihan/ekstremisme) dan tafrith (mengabaikan atau terlalu longgar/kelonggaran yang melampaui batas). Ghuluw seringkali terlihat dalam fanatisme yang buta, sikap menghakimi yang berlebihan, atau upaya memaksakan interpretasi sempit kepada orang lain. Sebaliknya, tafrith dapat bermanifestasi sebagai sikap permisif yang mengabaikan prinsip-prinsip dasar ajaran, yang pada akhirnya melemahkan fondasi moral dan spiritual. Jalan tengah adalah jalan kematangan spiritual yang mengakui kompleksitas hidup.
Konsep ini secara universal mengajarkan pentingnya proporsionalitas. Bahkan dalam pengeluaran harta, Islam mengajarkan untuk tidak boros (ekstrem kedua) dan tidak pula kikir (ekstrem pertama), melainkan bersikap 'infaq' atau pertengahan yang bijak. Dalam menanggapi krisis, baik itu pandemi, bencana alam, atau tantangan ekonomi, pendekatan wasaturodduna memastikan respons yang terukur, berbasis data, dan berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur, tanpa kepanikan yang tidak perlu atau pengabaian yang fatalistik.
Wasaturodduna sebagai Etos Peradaban
Umat Islam diposisikan sebagai saksi peradaban dunia. Agar kesaksian ini kredibel, metodologi yang dibawa haruslah persuasif dan menarik. Pendekatan ekstrem cenderung menolak atau menghakimi, yang secara otomatis menutup pintu dialog. Sebaliknya, pendekatan wasat—yang menawarkan solusi komprehensif, manusiawi, dan seimbang—memiliki daya tarik universal. Inilah mengapa banyak sejarawan dan pemikir kontemporer melihat periode keemasan Islam ditopang kuat oleh penerapan prinsip moderasi dan keseimbangan ini dalam tata kelola ilmu pengetahuan, pemerintahan, dan filsafat. Mengaktifkan kembali semangat wasaturodduna adalah kunci untuk membangun kembali harmoni, baik dalam diri individu maupun dalam hubungan antar sesama umat manusia.