Representasi simbolis dari aksara tradisional Makassar.
Bahasa Makassar, atau Basa Mangkasara, adalah salah satu bahasa Austronesia yang dominan digunakan di wilayah Sulawesi Selatan, Indonesia. Bahasa ini tidak hanya menjadi alat komunikasi sehari-hari bagi etnis Makassar, tetapi juga memegang peranan penting dalam menjaga identitas budaya mereka. Kekayaan bahasa ini tercermin tidak hanya dalam struktur tata bahasa dan kosakata, tetapi juga dalam sistem penulisannya yang unik dan bersejarah.
Secara historis, tulisan utama yang digunakan untuk merekam bahasa Makassar adalah Aksara Lontara (kadang disebut juga Aksara Bugis-Makassar). Aksara ini merupakan aksara Brahmi yang telah mengalami modifikasi signifikan seiring berjalannya waktu dan interaksi budaya. Meskipun sering kali dikaitkan erat dengan sastra Bugis, Lontara juga merupakan medium utama bagi tradisi tulis Makassar, terutama dalam pencatatan sejarah kerajaan, hukum adat, dan sastra lisan yang ditranskripsikan.
Ciri khas dari Aksara Lontara adalah bentuknya yang sangat efisien untuk ditulis pada media yang terbatas, yaitu daun lontar. Bentuk hurufnya cenderung melengkung dan membulat karena proses penorehan menggunakan pisau kecil atau semacam pisau cutter pada serat daun lontar yang lunak. Karena keterbatasan media ini, penulisan cenderung ringkas, dan sering kali pemisahan antar kata tidak terlalu jelas, memerlukan pengetahuan kontekstual bagi pembacanya.
Aksara Lontara pada dasarnya adalah aksara silabik (suku kata), di mana setiap simbol dasar mewakili satu konsonan diikuti oleh vokal inheren /a/. Untuk mengubah vokal tersebut menjadi /i/ atau /u/, digunakanlah tanda diakritik di atas atau di bawah huruf. Misalnya, jika simbol dasar adalah 'ka', maka penambahan tanda tertentu akan mengubahnya menjadi 'ki' atau 'ku'. Keunikan ini menjadikannya sistem penulisan yang memerlukan hafalan yang kuat.
Penggunaan Lontara di era pra-kolonial sangat vital. Naskah-naskah yang tersisa, meskipun jumlahnya tidak sebanyak naskah Jawa atau Bali, memberikan wawasan mendalam mengenai kosmologi, silsilah raja-raja (Babad), dan sistem pemerintahan di Kerajaan Gowa dan Tallo. Tulisan ini adalah bukti fisik dari peradaban maritim yang maju di pesisir selatan Sulawesi.
Seiring masuknya pengaruh kolonial Belanda dan perkembangan sistem pendidikan modern, penggunaan Aksara Lontara secara bertahap mengalami kemunduran. Transisi ke Aksara Latin menjadi dominan, terutama untuk keperluan administrasi, pendidikan formal, dan media massa. Saat ini, hampir seluruh komunikasi tertulis resmi dalam Bahasa Makassar menggunakan alfabet Latin.
Namun, kemudahan penulisan dan pembacaan Latin tidak menghilangkan tantangan dalam mentransliterasi Bahasa Makassar. Bahasa ini kaya akan bunyi-bunyi yang mungkin tidak memiliki padanan langsung dalam ortografi standar bahasa Indonesia. Misalnya, pelafalan vokal tertentu atau konsonan aspirasi perlu diadaptasi agar representasi tulisan tetap akurat mencerminkan bunyi aslinya. Upaya standardisasi ejaan Bahasa Makassar dalam aksara Latin terus dilakukan oleh para akademisi dan pegiat bahasa daerah agar kekayaan fonetiknya tidak hilang saat ditulis.
Meskipun dominasi Latin, upaya pelestarian Aksara Lontara terus berlanjut. Berbagai komunitas adat, lembaga kebudayaan, dan bahkan institusi pendidikan tinggi di Makassar secara aktif memperkenalkan Lontara kepada generasi muda. Pelestarian ini penting karena tulisan adalah salah satu pilar utama warisan budaya. Ketika sebuah bahasa kehilangan bentuk tulisannya yang otentik, ia kehilangan jejak visual peradaban masa lalunya.
Saat ini, kita melihat upaya untuk mengintegrasikan Lontara ke dalam ruang digital, seperti pengembangan font komputer khusus atau pengajaran dasar Lontara melalui aplikasi interaktif. Tantangannya adalah bagaimana menyeimbangkan antara kebutuhan praktis komunikasi modern (yang menggunakan Latin) dan kewajiban kultural untuk menjaga warisan tulisan leluhur. Memahami tulisan bahasa Makassar berarti menghargai sejarah panjang masyarakat Bugis-Makassar.
Bahasa Makassar, dengan segala kerumitan dan keindahannya, adalah cerminan masyarakat yang tangguh. Dari goresan tinta di atas daun lontar hingga representasi digital hari ini, semangat untuk menuliskan identitas mereka tetap menyala. Upaya untuk terus mempelajari dan mempromosikan sistem penulisan tradisional ini adalah kunci agar kekayaan linguistik Sulawesi Selatan tetap lestari.