Ilustrasi: Perjalanan hidup menuju titik kebahagiaan.
Sejak manusia mulai merenungkan eksistensinya, pertanyaan mendasar selalu muncul: Untuk apa kita hidup? Berbagai filsafat, agama, dan budaya menawarkan jawaban yang berbeda, namun satu benang merah yang paling kuat dan relevan bagi hampir semua orang adalah: Tujuan hidup adalah bahagia. Kebahagiaan, dalam konteks ini, bukanlah kesenangan sesaat, melainkan sebuah keadaan kebermaknaan, kepuasan batin, dan kesejahteraan emosional yang berkelanjutan.
Kita mengejar kesuksesan finansial, membangun karier gemilang, menjalin hubungan erat, dan mencari pengetahuan. Namun, jika kita jujur pada diri sendiri, semua pencapaian tersebut hanyalah sarana, bukan tujuan akhir. Uang dicari karena diyakini akan membawa kenyamanan dan rasa aman (yang berkontribusi pada kebahagiaan). Karier dibangun untuk validasi dan kontribusi (yang memberi makna). Semua dorongan fundamental manusia pada dasarnya mengarah pada satu hal: merasa baik tentang hidup kita. Kebahagiaan adalah mata uang terakhir dari semua upaya manusia.
Seringkali, kita jatuh dalam perangkap mengejar kebahagiaan eksternal—barang mewah, pujian orang lain, atau status sosial. Namun, para filsuf Stoik hingga psikolog modern sepakat bahwa kebahagiaan sejati bersifat internal. Kebahagiaan yang berkelanjutan (sering disebut eudaimonia dalam filosofi Yunani) bukan tentang pesta besar setiap hari, melainkan tentang hidup yang selaras dengan nilai-nilai inti kita.
Ini berarti kita harus aktif dalam mendefinisikan apa yang benar-benar penting bagi kita. Apakah itu integritas? Kreativitas? Memberi dampak positif? Ketika tindakan harian kita mencerminkan nilai-nilai terdalam ini, secara otomatis akan muncul rasa puas. Tantangannya adalah, definisi ini sangat personal dan memerlukan introspeksi yang mendalam serta keberanian untuk melepaskan ekspektasi yang dipaksakan masyarakat.
Paradoksnya, tujuan hidup adalah bahagia tidak berarti hidup tanpa masalah. Jika kebahagiaan adalah garis datar tanpa pasang surut, ia akan terasa hambar. Justru, kemampuan kita untuk menghadapi kesulitan, belajar darinya, dan bangkit kembali adalah komponen vital dari kebahagiaan sejati. Ketika kita berhasil mengatasi badai, rasa pencapaian dan ketahanan diri yang muncul jauh lebih kuat daripada kebahagiaan yang didapat dari kenyamanan terus-menerus. Rasa syukur seringkali tumbuh subur di tengah kesulitan, bukan saat segalanya terasa mudah.
Untuk mengarahkan hidup menuju tujuan bahagia ini, beberapa pilar dapat diterapkan secara konsisten:
Pada akhirnya, menyadari bahwa tujuan hidup adalah bahagia memberdayakan kita. Ini membebaskan kita dari keharusan mengejar label kesuksesan orang lain dan memungkinkan kita untuk merancang peta jalan pribadi. Kebahagiaan bukanlah tujuan akhir yang statis; ia adalah cara kita memilih untuk berjalan di sepanjang perjalanan kehidupan yang penuh liku dan indah ini.