Visualisasi simbol komunikasi
Bahasa Bima, atau yang sering juga disebut Bahasa Mbojo, adalah salah satu bahasa Austronesia yang dominan digunakan oleh masyarakat Suku Mbojo di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Bahasa ini memiliki kekayaan kosakata dan struktur tata bahasa yang unik, menjadikannya subjek menarik bagi studi linguistik dan keperluan praktis sehari-hari bagi pendatang. Memahami dan mampu melakukan terjemahan bahasa Bima bukan hanya sekadar mengganti kata, tetapi juga memahami konteks budaya dan sosial di mana kata tersebut digunakan.
Meskipun Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi dan alat komunikasi utama antar-etnis, Bahasa Bima tetap menjadi bahasa ibu bagi mayoritas penduduk setempat. Oleh karena itu, kemampuan menerjemahkan dari atau ke Bahasa Bima menjadi aset berharga, terutama bagi para peneliti, pegawai pemerintah, pekerja sosial, atau siapa pun yang tinggal dan berinteraksi erat dengan komunitas Bima.
Salah satu tantangan terbesar dalam melakukan terjemahan bahasa Bima adalah ketersediaan sumber daya digital yang terbatas dibandingkan dengan bahasa-bahasa besar lainnya di Indonesia. Kamus digital yang komprehensif masih jarang, dan seringkali terjemahan terbaik masih mengandalkan penutur asli atau ahli bahasa yang mendalam.
Secara struktural, Bahasa Bima memiliki beberapa ciri khas yang perlu diperhatikan oleh penerjemah:
Untuk mempermudah proses terjemahan bahasa Bima, beberapa strategi dapat diterapkan. Penerjemah harus mengutamakan pemahaman kontekstual daripada terjemahan harfiah (word-for-word).
Pertama, jika memungkinkan, gunakanlah teknik adaptasi atau deskripsi. Jika suatu kata benda merujuk pada ritual adat Bima yang spesifik, daripada mencari padanan yang tidak ada, lebih baik menerjemahkannya sebagai "sejenis upacara adat Bima untuk..."
Kedua, validasi silang. Selalu lakukan pemeriksaan kembali terjemahan Anda kepada penutur asli (native speaker) yang menguasai kedua bahasa. Penggunaan kamus lisan atau basis data yang dikembangkan oleh akademisi lokal sangat membantu dalam mengonfirmasi makna.
Ketiga, perhatikan diksi. Bahasa Bima seringkali menggunakan ungkapan yang lebih puitis atau majas dalam percakapan sehari-hari dibandingkan Bahasa Indonesia formal. Menerjemahkan nuansa ini tanpa kehilangan maknanya adalah kunci terjemahan yang berkualitas.
Meskipun menghadapi tantangan digitalisasi, minat terhadap pelestarian Bahasa Bima terus meningkat. Berbagai inisiatif lokal dan akademis kini berupaya mendokumentasikan bahasa ini secara digital. Ini membuka peluang baru bagi alat bantu terjemahan bahasa Bima otomatis di masa depan, meski saat ini alat tersebut masih jauh dari sempurna.
Penting untuk diingat bahwa bahasa adalah cerminan budaya. Setiap upaya penerjemahan yang berhasil berkontribusi pada jembatan komunikasi yang lebih kuat antara komunitas Bima dengan dunia luar, sekaligus memastikan warisan linguistik mereka tetap hidup dan relevan di era modern. Penguasaan terjemahan ini membuka pintu untuk memahami kekayaan sejarah dan filosofi masyarakat Sumbawa.