Kajian Mendalam Surah At-Taubah Ayat 70 hingga 80

Hikmah Ilahi ٧٠-٨٠

Ilustrasi Ketetapan dan Peringatan Ilahi

Surah At-Taubah, atau Surah Al-Bara’ah, merupakan salah satu surah Madaniyah yang sarat dengan hukum, perintah, dan peringatan keras, terutama terkait dengan masalah iman, kepemimpinan, dan hubungan dengan pihak yang memusuhi Islam. Fokus bahasan kali ini adalah rentang ayat 70 hingga 80, bagian yang secara tegas membahas konsekuensi dari kedustaan orang-orang munafik dan penolakan mereka terhadap kebenaran.

Peringatan Bagi Kaum yang Mendustakan (Ayat 70-73)

Ayat-ayat awal dalam rentang ini mengulang teguran tegas Allah SWT terhadap kaum-kaum sebelumnya yang ingkar, sebagai cerminan dari sikap orang-orang munafik pada masa Nabi Muhammad SAW. Allah mengingatkan bahwa umat-umat terdahulu telah didustakan oleh rasul-rasul mereka, namun mereka tetap tidak mengambil pelajaran. Puncaknya adalah ketika Allah menghancurkan mereka karena kezaliman yang mereka lakukan.

"Sesungguhnya telah datang kepada mereka berita tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, kaum ‘Ad, kaum Tsamud, kaum Ibrahim, umat Madyan dan negeri-negeri yang telah dibinasakan. (Al Qur'an) telah datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak menzalimi mereka, akan tetapi merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri. (At-Taubah: 70)

Terjemahan: Sungguh, telah datang kepada mereka berita-berita tentang orang-orang sebelum mereka, kaum Nuh, kaum 'Ad, kaum Tsamud, kaum Ibrahim, penghuni Madyan, dan negeri-negeri yang telah dihancurkan. Rasul-rasul mereka telah datang kepada mereka dengan membawa keterangan-keterangan yang nyata. Maka Allah tidak menzalimi mereka, tetapi merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri.

Ayat 71 dan 72 melanjutkan pesan ini dengan menekankan bahwa balasan (azab) orang-orang mukmin dan munafik adalah setimpal. Orang mukmin yang bersabar akan mendapatkan surga, sementara orang munafik laki-laki dan perempuan akan dimasukkan ke dalam neraka. Ini adalah pemisahan yang jelas antara hasil amal perbuatan di dunia dan perhitungan akhirat. Sifat orang munafik digambarkan sebagai pihak yang selalu menyuruh kepada kemungkaran dan melarang kepada kebaikan, sebuah kontras mutlak dengan sifat orang beriman.

Konsekuensi dari Kesetiaan yang Palsu (Ayat 74-77)

Bagian tengah ayat ini fokus pada pengkhianatan yang dilakukan oleh sekelompok munafik. Mereka bersumpah atas nama Allah bahwa mereka tidak mengatakan yang buruk (tentang Nabi atau kaum mukmin), padahal mereka telah mengucapkan kekafiran tersebut. Ketika kebenaran terungkap, mereka segera menarik sumpah palsu mereka dan berbalik melawan kebenaran.

"Mereka bersumpah dengan nama Allah bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang buruk), padahal sungguh mereka telah mengucapkan kalimat kekafiran, dan mereka telah menjadi kafir setelah (mengucapkan) keislaman mereka... (At-Taubah: 74)

Terjemahan: Mereka bersumpah dengan nama Allah bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang buruk), padahal sungguh mereka telah mengucapkan kalimat kekufuran, dan mereka telah kafir setelah keislaman mereka...

Ayat 75-77 menggambarkan reaksi lanjutan mereka. Ketika Allah memberikan karunia (kemenangan atau harta rampasan perang), mereka justru menjadi kikir dan berpaling. Peringatan keras diberikan bahwa mereka telah menipu Allah, namun Allah sendirilah yang akan membalas tipuan mereka dengan hukuman yang setimpal. Keengganan mereka untuk bersyukur, bahkan ketika kekayaan melimpah, menunjukkan **kedangkalan iman** yang sesungguhnya.

Hikmah penting dari ayat-ayat ini adalah bahwa iman sejati tidak hanya diucapkan lisan, tetapi dibuktikan melalui konsistensi tindakan, kedermawanan di saat lapang, dan kesabaran di saat sulit. Kemunafikan akan terkuak ketika ujian materi atau bahaya datang.

Penegasan Hukum Terhadap Kemunafikan (Ayat 78-80)

Ayat 78 adalah salah satu ayat yang sering dikutip untuk menggambarkan watak buruk kaum munafik. Mereka mulai menunjukkan rasa benci dan enggan ketika ada urusan yang menyangkut harta atau pertolongan bagi kaum mukmin. Ketika ada musibah, mereka berpaling dan bersembunyi.

Ayat 79 dan 80 memberikan penutup bagi pembahasan sifat-sifat tercela ini dengan menetapkan standar bahwa Allah Maha Mengetahui segala rahasia hati mereka. Allah memperingatkan orang-orang munafik yang mencoba mempermainkan sedekah (zakat) yang diberikan kepada mereka.

"Orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan orang-orang yang tidak memperoleh kecuali sedekah tersebut, lalu mereka membuat mereka menjadi bahan ejekan. Allah mengolok-olok mereka, dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatannya. (At-Taubah: 79)

Terjemahan: Orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberikan sedekah dengan kerelaan hati dan orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) kecuali sekadar kesanggupan mereka, lalu mereka mengejek mereka. Allah mengolok-olok mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka.

Ayat penutup (80) memberikan pilihan akhir bagi Nabi Muhammad SAW. Beliau diperintahkan untuk tidak memohonkan ampunan bagi orang-orang munafik tersebut, meskipun Nabi memohonkan ampunan sebanyak 70 kali. Hal ini karena Allah telah menetapkan hati mereka terkunci rapat karena perbuatan mereka sendiri. Jika Nabi memohonkan ampunan 70 kali, itu tidak akan mengubah keputusan Allah sedikit pun. Ini menegaskan batasan intervensi ilahi terhadap mereka yang secara sadar dan berulang kali memilih jalan kekafiran tersembunyi.

Kesimpulan

Rentang Surah At-Taubah ayat 70 hingga 80 berfungsi sebagai cermin moralitas sosial dalam komunitas Muslim. Ayat-ayat ini mengajarkan pentingnya **integritas**, kehati-hatian terhadap **kemunafikan tersembunyi**, dan pemahaman bahwa **konsekuensi amal perbuatan akan terwujud secara definitif** di akhirat. Peringatan keras ini ditujukan agar umat selalu waspada agar tidak tergolong kepada mereka yang hatinya tertutup oleh kesombongan dan kedustaan.