Visualisasi Ketenangan dalam Memahami Wahyu.
Surat At-Taubah, yang dikenal juga sebagai surat Bara'ah (Pernyataan Terlepasnya Ikatan), adalah surat Madaniyah terakhir yang diturunkan kepada Rasulullah SAW. Surat ini secara spesifik membahas kondisi umat Islam pasca-Fathu Makkah, termasuk tantangan, perjanjian dengan kaum musyrikin, dan penegasan prinsip-prinsip keimanan. Di tengah pembahasan yang luas tersebut, terdapat sebuah ayat yang memiliki bobot signifikan dalam menjelaskan kedudukan kerasulan dan batas-batas otoritas Allah SWT, yaitu Surat At-Taubah ayat 228.
Ayat ini seringkali menjadi sorotan karena kedalaman maknanya yang menyentuh aspek hubungan antara manusia, Rasulullah SAW, dan wahyu Ilahi. Ayat ini menggarisbawahi bahwa bahkan dalam kondisi kesulitan atau kesenangan, segala sesuatu harus kembali kepada otoritas tertinggi, yaitu Allah SWT, dan peran Rasulullah SAW sebagai penyampai risalah telah selesai pada saat beliau wafat, dengan tugas melanjutkan adalah para pengikutnya.
Secara tekstual, ayat 228 dari Surat At-Taubah ini fokus membahas aspek hukum keluarga, khususnya mengenai prosedur dan batasan dalam proses talak (perceraian). Ayat ini menetapkan tiga poin utama yang harus diperhatikan:
Allah memerintahkan agar perceraian (talak) dijatuhkan pada waktu yang tepat, yaitu ketika istri sedang dalam masa iddah (masa tunggu). Dalam konteks fikih, ini merujuk pada talak yang dijatuhkan pada saat istri dalam keadaan suci dan belum digauli sejak suci terakhir, atau talak yang dijatuhkan saat istri sedang haid (namun ulama berbeda pandangan tentang sah tidaknya talak saat haid, mayoritas berpegang pada konteks bahwa talak harus dihitung masa iddahnya pasca talak). Intinya adalah penghitungan waktu yang cermat untuk memfasilitasi kemungkinan rujuk jika terjadi secara tidak sengaja atau karena emosi sesaat.
Ayat ini menegaskan bahwa selama masa iddah berlangsung, suami dilarang mengeluarkan istri dari rumah tempat tinggal mereka, dan istri juga dilarang keluar, kecuali jika mereka melakukan fahisyah mubinah (perbuatan keji yang nyata), seperti zina. Larangan ini bertujuan untuk menjaga kehormatan kedua belah pihak, memberikan kesempatan untuk introspeksi, dan menaati batasan syariat. Ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga integritas rumah tangga, bahkan di saat perpisahan sudah diputuskan.
Ayat diakhiri dengan penegasan tegas: "Itulah hukum-hukum Allah. Dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri." Ini adalah peringatan universal. Ketika Allah menetapkan batasan (hudud), batasan tersebut adalah demi kemaslahatan manusia itu sendiri. Melanggar batasan tersebut bukan hanya pelanggaran terhadap syariat, tetapi juga bentuk penganiayaan terhadap diri sendiri karena konsekuensi jangka panjangnya akan merugikan pelaku.
Bagian penutup ayat ini sangat mengandung hikmah dan motivasi: "Kamu tidak mengetahui (kemungkinan), mudah-mudahan Allah mengadakan suatu keadaan yang baru sesudah (talak) yang demikian itu."
Pernyataan ini menawarkan secercah harapan. Meskipun suami telah mengucapkan talak, dan proses iddah harus dijalani sesuai prosedur, Allah Maha Mampu untuk mengubah keadaan. Mungkin setelah masa iddah selesai, emosi mereda, dan kedua belah pihak menyadari kesalahan atau arti penting pernikahan mereka, sehingga Allah membuka jalan untuk rujuk. Hal ini mengajarkan umat Islam untuk selalu bersikap penuh pertimbangan, tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan yang dapat mengubah takdir rumah tangga, dan selalu meletakkan harapan tertinggi pada kuasa Allah untuk memperbaiki segala sesuatu.
Secara keseluruhan, Surat At-Taubah ayat 228 adalah pedoman komprehensif mengenai bagaimana umat Islam harus menghadapi salah satu persoalan paling sensitif dalam kehidupan sosial—perceraian—dengan tetap menjaga ketakwaan, menaati batasan yang ditetapkan, dan menyadari bahwa di balik setiap ketetapan hukum, terdapat kasih sayang dan keadilan Ilahi yang tak terduga.