Surat At-Taubah, atau dikenal juga sebagai Bara'ah, adalah surat ke-9 dalam Al-Qur'an. Ayat 118 dari surat ini memiliki kedalaman makna yang signifikan, terutama kaitannya dengan kisah Tiga Orang yang Tertinggal (Tala'a al-Thalathah) dari Perang Tabuk. Ayat ini memberikan pelajaran penting mengenai kejujuran, pertobatan, dan urgensi keterbukaan hati dalam beragama.
Ayat ini secara spesifik membahas tentang tiga sahabat Nabi Muhammad SAW yang tidak ikut serta dalam Perang Tabuk tanpa alasan yang dapat diterima pada saat itu, yaitu Ka'b bin Malik, Murarah bin Rabi'ah, dan Hilal bin Umayyah. Setelah pulang, mereka mengakui kesalahan mereka dengan jujur, dan Allah SWT kemudian menurunkan wahyu mengenai penerimaan pertobatan mereka.
"Dan terhadap tiga orang yang ditinggalkan (tidak ikut perang Tabuk), hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka sekalipun bumi itu luas, dan jiwa mereka pun terasa sempit pula, dan mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat perlindungan dari (azab) Allah melainkan kepada-Nya, maka Allah menerima taubat mereka agar mereka bersyukur. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang."
Perang Tabuk adalah salah satu ekspedisi militer terbesar yang pernah dilakukan oleh umat Islam pada masa Nabi Muhammad SAW, bertujuan menghadapi ancaman Romawi Bizantium di utara Jazirah Arab. Perang ini terjadi dalam kondisi sulit—cuaca panas ekstrem dan jarak tempuh yang jauh.
Tiga sahabat yang disebutkan dalam ayat ini—Ka'b bin Malik, Murarah bin Rabi'ah, dan Hilal bin Umayyah—memutuskan untuk tidak ikut serta tanpa izin Nabi. Mereka sebenarnya memiliki kemampuan untuk berangkat, namun tertipu oleh kemudahan dan godaan duniawi (dalam kasus Ka'b bin Malik, ia mengaku ingin menikmati kemewahan sebelum berangkat, namun kemudian menundanya hingga waktu keberangkatan telah lewat).
Ketika mereka kembali ke Madinah, mereka dihadapkan pada penolakan keras dari masyarakat. Nabi Muhammad SAW memerintahkan kaum muslimin untuk menjauhi mereka selama lima puluh hari. Masa isolasi sosial ini adalah hukuman yang sangat berat, karena memutus hubungan sosial dan spiritual mereka dengan komunitas Muslim.
Ketika tiga sahabat ini akhirnya diminta pertanggungjawaban, mereka tidak mencari dalih atau kebohongan. Ka'b bin Malik berkata, "Demi Allah, aku tidak pernah berdusta sejak aku menyatakan kejujuran kepada Rasulullah SAW hingga saat ini." Kejujuran ini menjadi kunci utama diterimanya pertobatan mereka. Dalam Islam, mengakui kesalahan dengan tulus adalah langkah pertama menuju pengampunan.
Ayat ini menggambarkan keadaan psikologis mereka: "Hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka sekalipun bumi itu luas, dan jiwa mereka pun terasa sempit pula." Ini menunjukkan bahwa tekanan sosial, rasa malu, dan jauh dari rahmat Allah jauh lebih menyesakkan daripada kesulitan fisik manapun. Kesadaran bahwa tidak ada tempat berlindung selain Allah (lā malja’a minallāhi illā ilayh) adalah puncak kesadaran spiritual mereka.
Klimaks ayat ini adalah janji penerimaan taubat oleh Allah SWT. Setelah lima puluh hari penantian yang berat, Allah memerintahkan Nabi untuk menerima pertobatan mereka. Hal ini menegaskan bahwa pintu rahmat Allah selalu terbuka lebar bagi hamba-Nya yang benar-benar menyesal dan bertekad untuk kembali. Sifat At-Tawwab (Maha Penerima Taubat) dan Ar-Rahim (Maha Penyayang) adalah jaminan bagi orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam perbaikan diri.
Penerimaan taubat tersebut bertujuan agar mereka bersyukur (liyatasabbu). Syukur di sini bukan sekadar ucapan lisan, melainkan implementasi total dalam kehidupan, yaitu tidak akan mengulangi kesalahan yang sama dan akan menjadi lebih taat setelah diampuni.
Kisah di balik Surat At-Taubah ayat 118 tetap relevan hingga kini. Ayat ini mengajarkan bahwa menghadapi kegagalan atau dosa besar bukanlah akhir dari segalanya. Yang terpenting adalah keberanian untuk jujur mengakui kesalahan di hadapan Allah, menerima konsekuensi sosial jika ada, dan teguh berharap pada rahmat-Nya. Rasa sesak yang dirasakan oleh ketiga sahabat tersebut adalah metafora bagi rasa bersalah yang mendorong jiwa menuju Allah, menjauh dari kesombongan duniawi. Ayat ini adalah mercusuar harapan bagi setiap muslim yang tergelincir, mengingatkan bahwa Allah Maha Menerima Taubat selama penyesalan itu tulus.