Dua penutup yang penuh rahmat dan kepastian iman.
Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang Rasul dari kaum kalian sendiri, yang sangat berat baginya kesulitan yang kalian alami, yang sangat menginginkan (kebaikan) kalian, yang (dia) sangat belas kasih lagi penyayang terhadap orang-orang yang beriman.
Maka jika mereka berpaling, katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku, tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal dan Dia adalah Tuhan Yang memiliki 'Arsy yang agung."
Dua ayat terakhir dari Surah At-Taubah (Surah ke-9 dalam Al-Qur'an) ini memiliki posisi yang sangat penting dalam narasi keseluruhan surat tersebut. Surah At-Taubah adalah satu-satunya surah yang tidak diawali dengan Basmalah (Bismillahirrahmanirrahim), yang secara tradisional dihubungkan dengan konteks peperangan, pemutusan perjanjian dengan kaum musyrikin, dan penegasan tauhid yang murni. Ayat 127 menekankan konsekuensi bagi orang-orang munafik. Setelah itu, Allah menutup lembaran surah ini dengan dua ayat penuh kasih sayang dan penegasan keimanan mutlak.
Ayat 128 menyoroti kualitas pribadi Rasulullah ﷺ yang luar biasa sebagai rahmat bagi umatnya. Frasa "Laqad jaa’akum rasuulum min anfusikum" (Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang Rasul dari kaum kalian sendiri) menegaskan kedekatan dan pemahaman beliau terhadap kondisi sosial dan psikologis umatnya. Lebih mendalam lagi, Allah menggambarkan betapa beratnya bagi beliau penderitaan umatnya: "śazīzun 'alaihi maa 'anittum" (berat baginya kesulitan yang kalian alami). Ini bukan sekadar simpati, tetapi rasa ikut menanggung beban. Ditambah lagi dengan sifat "hariishun 'alaikum" (sangat menginginkan kebaikan kalian) dan puncaknya, "ra'uufur rahiim" (sangat belas kasih lagi penyayang), terutama terhadap orang-orang yang beriman. Ayat ini berfungsi sebagai penutup surah dengan mengingatkan umat Islam mengenai betapa besarnya kasih sayang Nabi Muhammad ﷺ yang harus dibalas dengan ketaatan.
Ayat 129 menjadi penutup sekaligus petunjuk bagi setiap Muslim dalam menghadapi segala tantangan, terutama ketika upaya dakwah atau hubungan sosial menemui jalan buntu. Kalimat "Fa in tawallaw faqul..." (Maka jika mereka berpaling, katakanlah...) memberikan instruksi langsung bagaimana seharusnya seorang mukmin bersikap ketika usahanya ditolak atau menghadapi penolakan keras. Kuncinya adalah penyerahan diri total kepada Allah SWT: "Hasbiyallahu laa ilaaha illaa Huwa" (Cukuplah Allah bagiku, tidak ada Tuhan selain Dia).
Penegasan ini diikuti dengan tindakan praktis seorang mukmin: "Alaihi tawakkaltu" (Hanya kepada-Nya aku bertawakal). Tawakal di sini bukan berarti pasif, melainkan telah melakukan segala usaha terbaik, kemudian menyerahkan hasil akhirnya kepada Sang Pengatur Alam Semesta. Penekanan bahwa Allah adalah "Rabbul 'Arsyil 'Azhiim" (Tuhan Pemilik 'Arsy yang Agung) memperkuat keyakinan ini. 'Arsy adalah makhluk terbesar yang diketahui, dan menjadikan Allah sebagai Tuhan pemiliknya menunjukkan keagungan kekuasaan-Nya yang meliputi segala sesuatu. Penutup surah yang secara bertahap beralih dari tantangan duniawi kepada kedekatan dengan Rasul, dan diakhiri dengan penegasan tauhid dan tawakal, memberikan fondasi spiritual yang kokoh bagi kaum Muslimin. Ayat-ayat ini adalah kompas moral dan spiritual yang abadi.