Ilustrasi konsep sumpah, keadilan, dan keteguhan hati dalam menepati janji.
Surah At-Taubah, yang merupakan satu-satunya surah dalam Al-Qur'an yang tidak diawali dengan Basmalah, menyimpan banyak pelajaran penting mengenai hubungan antara kaum mukminin dengan Allah SWT, Rasul-Nya, dan juga dengan pihak-pihak yang bersikap ambigu atau memusuhi Islam. Ayat ke-74 dari surah ini menjadi sorotan penting karena secara spesifik membahas tentang kelompok tertentu yang mengaku beriman namun perilakunya bertentangan dengan klaim tersebut.
Ayat ini adalah cerminan tegas dari pengadilan ilahi terhadap kemunafikan yang bersembunyi di tengah-tengah barisan umat Islam. Allah SWT dalam ayat ini mengungkap modus operandi orang-orang munafik yang mencoba menipu dengan lidah mereka, padahal hati mereka dipenuhi kebencian dan pengkhianatan.
Terjemahan (Inti Makna): "Kemudian setelah itu Allah menerima taubat orang yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
(Catatan: Ayat 74 ini seringkali dibahas bersamaan dengan ayat-ayat sebelumnya (73) yang menjelaskan ancaman dan tuduhan terhadap mereka yang bersumpah palsu.)Ayat 74 Surah At-Taubah harus dipahami dalam konteks ayat-ayat sebelumnya (Ayat 73), di mana Allah memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk memerangi orang-orang kafir dan munafik. Orang-orang munafik ini seringkali bermain kata-kata. Mereka bersumpah atas nama Allah bahwa mereka tidak mengatakan hal-hal yang bertentangan dengan Islam, padahal perkataan mereka telah jelas menunjukkan kekufuran.
Inti dari Surah At-Taubah ayat 74 adalah tentang janji pengampunan Allah, yang muncul setelah pembahasan mengenai dosa besar berupa kemunafikan dan pengkhianatan sumpah. Ini menunjukkan sifat rahmat Allah yang tak terbatas. Meskipun mereka telah melakukan dosa yang sangat serius—yaitu menggunakan nama Allah untuk menipu dan menyembunyikan kekafiran mereka—pintu taubat tetap terbuka lebar.
Frasa kunci dalam ayat ini adalah "Kemudian setelah itu Allah menerima taubat orang yang dikehendaki-Nya." Frasa ini memberikan dua implikasi penting. Pertama, pengakuan akan kesalahan dan penyesalan yang tulus adalah prasyarat utama. Kedua, penerimaan taubat sepenuhnya berada di bawah kehendak dan kebijaksanaan Allah SWT. Ini bukan berarti taubat dapat dipaksakan atau dijamin secara otomatis, melainkan sebuah harapan besar bagi setiap pendosa yang sungguh-sungguh ingin kembali kepada jalan yang benar.
Bagi seorang mukmin, ayat ini menjadi pengingat kuat bahwa betapapun gelapnya dosa yang telah diperbuat, selama ia masih hidup dan memiliki keikhlasan yang murni dalam penyesalannya, Allah Maha Pengampun. Sifat Allah yang Ghafur (Maha Pengampun) dan Rahim (Maha Penyayang) ditekankan di akhir ayat sebagai penutup yang menenangkan sekaligus memotivasi untuk berhijrah dari kemunafikan menuju ketulusan.
Dalam konteks modern, Surah At-Taubah ayat 74 mengajarkan pentingnya integritas moral dan kejujuran dalam setiap janji, baik kepada Allah, sesama manusia, maupun dalam kapasitas profesional. Sumpah palsu, kebohongan yang dibungkus dengan dalih kepentingan, atau pengkhianatan terhadap amanah, semuanya dicakup dalam kategori perilaku yang dikecam keras dalam surah ini. Namun, ayat 74 ini juga mengajarkan optimisme; bahwa tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri dan memohon ampunan ilahi, asalkan upaya tersebut disertai dengan perubahan perilaku yang nyata dan ketulusan yang mendalam.
Inti dari ayat ini adalah keseimbangan: ketegasan dalam menegakkan kebenaran dan kejujuran (sebagaimana diperintahkan di ayat sebelumnya) harus diiringi dengan harapan yang tak pernah putus akan ampunan Allah bagi mereka yang benar-benar sadar dan bertaubat.