Mempelajari konsekuensi dari ingkar janji dalam perspektif Al-Qur'an.
Latin: *Kayfa yakūnu lil-musyrikīna 'ahdun 'indallāhi wa 'inda rasūlihī illallazīna 'āhadttum 'indal-masjidal-harām, famastaqāmū lakum fastaqīmū lahum, innallāha yuhibbul-muttaqīn.*
Artinya: "Bagaimana mungkin (ada perjanjian) bagi orang-orang musyrik di sisi Allah dan di sisi Rasul-Nya, kecuali orang-orang yang kamu adakan perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjidilharam?" Maka selama mereka berlaku istiqamah (menepati janji) terhadapmu, tetaplah kamu berlaku istiqamah (menepati janji) terhadap mereka. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.
Surah At-Taubah (Surah ke-9) secara umum dikenal sebagai surah yang turun membahas tentang pemutusan hubungan dan evaluasi total terhadap perjanjian damai yang ada setelah peristiwa penaklukan Makkah, khususnya terkait dengan kaum musyrikin Quraisy. Ayat kedelapan ini menjadi titik krusial dalam menunjukkan prinsip keadilan ilahi dalam hubungan antarmanusia dan antarumat beragama.
Ayat ini secara tegas menanyakan retorikanya: Bagaimana mungkin kaum musyrik, yang secara aktif memerangi dan menentang ajaran Allah dan Rasul-Nya, memiliki janji atau perjanjian yang sah di sisi Allah dan Rasul-Nya? Pertanyaan retoris ini menekankan bahwa landasan janji harus didasarkan pada kesamaan prinsip atau setidaknya penghormatan terhadap kebenaran, yang mana hal itu tidak dimiliki oleh kaum musyrik pada saat itu.
Namun, Al-Qur'an selalu menjunjung tinggi prinsip keadilan dan konsistensi. Pengecualian diberikan secara spesifik: "Kecuali orang-orang yang kamu adakan perjanjian dengan mereka di dekat Masjidilharam." Ini merujuk pada perjanjian yang dibuat di masa lalu, seperti Perjanjian Hudaibiyah, atau perjanjian damai terbatas yang dilakukan sebelum turunnya perintah untuk membebaskan Makkah sepenuhnya. Ayat ini mengajarkan umat Islam untuk mematuhi janji yang telah disepakati selama pihak lain juga menepatinya.
Bagian kedua dari ayat ini, "Maka selama mereka berlaku istiqamah (menepati janji) terhadapmu, tetaplah kamu berlaku istiqamah (menepati janji) terhadap mereka," adalah landasan etika diplomatik dalam Islam. Istiqamah di sini berarti keteguhan, konsistensi, dan kepatuhan penuh terhadap syarat-syarat yang telah disepakati. Islam mengajarkan bahwa komitmen harus dijalankan secara timbal balik.
Jika pihak non-Muslim yang sebelumnya merupakan musuh, menunjukkan itikad baik dan memegang teguh kesepakatan yang telah dibuat (bahkan jika kesepakatan itu dengan kaum yang jelas berbeda keyakinannya), maka umat Islam wajib membalasnya dengan konsistensi yang sama. Prinsip ini menunjukkan bahwa Islam tidak bersifat sewenang-wenang; ia menghargai setiap bentuk komitmen yang telah dibuat.
Penutup ayat ini memberikan motivasi spiritual yang sangat tinggi: "Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang bertakwa." Ketakwaan (taqwa) di sini terwujudkan dalam bentuk sikap menepati janji, bahkan kepada pihak yang secara ideologis bertolak belakang. Orang yang bertakwa adalah orang yang menempatkan ketaatan kepada perintah Allah di atas segalanya, termasuk dalam urusan hubungan sosial dan politik. Menepati janji adalah manifestasi nyata dari kehati-hatian (taqwa) seorang mukmin agar tidak melanggar batas-batas syariat, terlepas dari sifat atau perilaku pihak lawan.
Meskipun turun dalam konteks konflik spesifik antara kaum Muslimin awal dengan suku-suku Quraisy, Surah At-Taubah ayat 8 memberikan prinsip universal mengenai integritas kontrak dan perjanjian. Di era modern, ayat ini menjadi landasan kuat mengapa umat Islam harus menjadi pihak yang paling dapat dipercaya dalam setiap transaksi, perjanjian internasional, atau kesepakatan sipil. Kepercayaan publik terhadap umat Islam dibangun di atas konsistensi antara iman yang diucapkan dan tindakan nyata yang dijalankan, terutama dalam menjaga janji.
Inilah inti dari keteguhan Islam: keadilan dan konsistensi adalah ciri khas hamba Allah yang bertakwa. Selama janji itu tidak melanggar prinsip dasar keimanan (seperti syirik aktif yang mengancam keberlangsungan ajaran Islam itu sendiri), maka janji tersebut wajib dihormati dan ditepati.
Kesimpulannya, Surah At-Taubah ayat 8 menyeimbangkan antara ketegasan doktrinal terhadap kaum yang memusuhi, dengan penghargaan tertinggi terhadap prinsip keadilan dan pemenuhan janji yang telah disepakati secara konkret. Ini adalah pelajaran tentang bagaimana menjadi komunitas yang kuat secara prinsip namun tetap adil dalam muamalah (interaksi).