Surah At Taubah, atau Surah al-Bara'ah (Surah Penyucian), adalah surah terakhir dalam mushaf Al-Qur'an. Ayat ke-59 dari surah ini membawa pesan mendalam mengenai sikap hati seorang mukmin terhadap rezeki dan ketetapan Allah SWT. Ayat ini secara spesifik berbicara tentang pentingnya kepuasan (ridha) terhadap apa yang telah Allah berikan melalui wahyu-Nya dan melalui bimbingan Rasul-Nya.
Ayat 59 ini diturunkan dalam konteks di mana beberapa kaum Muslimin, setelah pembagian harta rampasan perang (ghanimah) atau pemberian tertentu dari Baitul Mal, menunjukkan sedikit ketidakpuasan atau keinginan untuk mendapatkan lebih banyak materi. Ketika Nabi Muhammad ﷺ membagi harta rampasan, beberapa orang berharap mendapatkan porsi yang lebih besar, yang mengindikasikan bahwa fokus mereka mungkin sedikit teralihkan dari tujuan utama jihad dan ketaatan kepada Allah.
Allah SWT melalui ayat ini memberikan teguran lembut namun tegas. Inti dari teguran tersebut adalah bahwa seharusnya seorang mukmin menjadikan keridhaan Allah dan ajaran Rasul-Nya sebagai standar utama kepuasan hidup, bukan semata-mata pada keuntungan duniawi yang bersifat sementara. Jika mereka benar-benar ridha terhadap ketentuan Allah dan Rasul-Nya, hati mereka akan tenang dan terhindar dari sifat tamak atau iri hati.
Frasa "Cukuplah bagi kami Allah" (حَسْبُنَا اللَّهُ) adalah inti dari konsep tawakal yang sempurna. Ini bukan berarti menolak upaya mencari rezeki, tetapi meyakini bahwa sumber segala rezeki dan pertolongan hanyalah dari Allah. Ketika seseorang mengucapkan kalimat ini dengan hati yang tulus, ia mengakui otoritas tertinggi Allah atas semua urusan.
Ayat ini mengajarkan dua pilar spiritualitas yang krusial:
Pesan Surah At Taubah ayat 59 sangat relevan di era materialisme saat ini. Dalam kehidupan modern, seringkali manusia mengukur kesuksesan dan kebahagiaan berdasarkan akumulasi kekayaan, jabatan, atau pengakuan sosial. Ayat ini mengingatkan kita bahwa standar kesuksesan sejati diukur dari sejauh mana kita mengikuti petunjuk ilahi dan seberapa besar kepuasan kita terhadap pemberian-Nya.
Ketika kita menghadapi tantangan ekonomi, kegagalan proyek, atau ketidakadilan dalam pembagian sumber daya, sikap yang dicontohkan dalam ayat ini adalah kembali kepada pondasi iman: bahwa Allah Maha Pemberi dan Maha Mengatur. Dengan menanamkan rasa cukup (qana'ah) atas rezeki yang halal, seorang Muslim dapat terbebas dari kecemasan dan perlombaan duniawi yang tak berkesudahan. Memegang teguh Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai pedoman utama adalah bentuk keridhaan tertinggi kita kepada Allah dan Rasul-Nya.
Oleh karena itu, ayat ini berfungsi sebagai cermin spiritual agar umat Islam selalu mengoreksi niat dan prioritas hidupnya, memastikan bahwa mencari keridhaan Allah selalu berada di atas segalanya.