فَإِذَا انْسَلَخَ الْأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ ۚ فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
(9:5) Apabila sudah habis bulan-bulan suci, maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana pun kamu menemuinya, dan tangkaplah mereka, kepunglah mereka, dan intailah mereka di setiap tempat penantian. Kemudian jika mereka bertobat, melaksanakan salat, dan menunaikan zakat, maka biarkanlah jalan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.Ayat kelima dari Surah At-Taubah (Surah ke-9) ini sering kali menjadi titik fokus pembahasan mengenai hukum perang dan perdamaian dalam Islam. Ayat ini turun dalam konteks peperangan yang terjadi setelah berakhirnya perjanjian damai dengan beberapa suku musyrik Quraisy yang terbukti melanggar ikrar suci mereka. Surah At-Taubah secara keseluruhan dikenal sebagai surah yang membahas pembatalan perjanjian dengan kaum musyrikin yang tidak menepati janji mereka, terutama setelah peristiwa penaklukan Mekkah.
Frasa kunci dalam ayat ini adalah "Apabila sudah habis bulan-bulan suci" (انْسَلَخَ الْأَشْهُرُ الْحُرُمُ). Bulan-bulan haram (suci) adalah waktu yang secara tradisional dihormati oleh bangsa Arab untuk menghentikan permusuhan. Ayat ini memberikan batas waktu yang jelas: setelah periode penghormatan ini berakhir, umat Islam diperintahkan untuk mengambil tindakan militer terhadap musyrikin yang telah melanggar perjanjian. Perintah ini mencakup tindakan defensif dan ofensif yang terukur: "bunuhlah," "tangkaplah," "kepunglah," dan "intailah."
Penting untuk dipahami bahwa perintah yang termaktub dalam ayat ini sangat terikat oleh konteks waktu dan kondisi spesifik. Ini bukanlah perintah untuk melakukan kekerasan tanpa batas. Ayat ini secara eksplisit mengakhiri serangkaian instruksi keras tersebut dengan sebuah solusi damai dan penerimaan taubat. Tiga pilar utama yang diminta sebagai syarat penghentian permusuhan adalah:
Apabila persyaratan ini dipenuhi, maka perintah militer tersebut otomatis batal, digantikan dengan perintah yang tegas: "maka biarkanlah jalan mereka". Hal ini menunjukkan bahwa tujuan utama dari perintah militer tersebut bukanlah pemusnahan, melainkan penegakan keadilan, pemutusan hubungan dengan pihak yang mengkhianati perjanjian, serta memberikan kesempatan terakhir bagi musuh untuk kembali ke jalan yang benar, yaitu jalan keimanan dan kepatuhan pada syariat. Penekanan pada salat dan zakat menunjukkan bahwa inti dari penerimaan kembali seorang musyrik adalah masuknya mereka secara penuh ke dalam sistem sosial dan spiritual Islam.
Ayat ini ditutup dengan dua sifat Allah yang paling agung: "Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ). Penutup ini memberikan nuansa harapan meskipun perintah sebelumnya terdengar keras. Ini menegaskan bahwa meskipun ada konsekuensi hukum yang harus dijalankan akibat pengkhianatan, pintu rahmat dan ampunan Allah selalu terbuka lebar bagi siapa saja yang memilih untuk kembali dan memperbaiki diri. Ini merupakan prinsip fundamental dalam hukum perang Islam, di mana tujuan akhir selalu mengarah pada perdamaian yang didasarkan pada keadilan dan keimanan.
Para ulama menegaskan bahwa ayat ini harus dibaca secara utuh, tidak terpotong-potong. Memisahkan perintah kekerasan dari syarat pengampunan akan menghasilkan pemahaman yang keliru dan ekstrem. Sebaliknya, ayat ini adalah contoh sempurna bagaimana Islam mengatur hubungan konflik, menetapkan batas tegas, namun selalu menawarkan jalur keluar yang mulia melalui pertobatan dan integrasi sosial melalui ibadah wajib.
Dalam konteks kontemporer, ayat ini sering digunakan untuk menggarisbawahi pentingnya komitmen terhadap janji dan konsekuensi logis dari pelanggaran perjanjian yang telah disepakati bersama, sambil tetap menjaga prinsip kemanusiaan dan kesempatan untuk rekonsiliasi.