Ilmu dan Petunjuk dari Al-Qur'an
"Dan apabila diturunkan suatu surat, sebagian mereka (orang-orang munafik) memandang kepadamu dengan pandangan orang yang pingsan karena takut akan kematian. Maka apabila bahaya (kematian) telah berlalu, mereka mencela kamu dengan lidah yang tajam, sedang mereka menginginkan keserakahan akan harta (untuk diri mereka sendiri). Mereka itu belum beriman, maka Allah menghapus segala amal mereka. Dan yang demikian itu mudah bagi Allah." (QS. At-Taubah: 127)
Ayat 127 Surah At-Taubah ini memberikan gambaran tajam mengenai psikologi dan karakter kaum munafik ketika dihadapkan pada wahyu Ilahi, khususnya yang mengandung perintah jihad atau berita tentang peperangan. Ketika ayat-ayat yang menguatkan iman dan menyerukan ketaatan diturunkan, para munafik ini bereaksi dengan ketakutan ekstrem.
Deskripsi "pandangan orang yang pingsan karena takut akan kematian" sangat dramatis. Ini menunjukkan bahwa iman mereka dangkal; mereka hanya mengikuti Islam selama kondisi aman dan menguntungkan. Begitu tantangan muncul—yakni potensi risiko kehilangan nyawa atau harta dalam perjuangan—ketakutan duniawi langsung mengalahkan keyakinan mereka. Mereka menunjukkan kepengecutan yang nyata.
Namun, ketika bahaya mereda—ketika Allah menyelamatkan kaum mukminin atau situasi peperangan usai—sikap mereka berubah drastis. Mereka menunjukkan keganasan verbal, mencela kaum mukminin dengan "lidah yang tajam." Cerca ini didorong oleh sifat dasar mereka: asyihhatan 'alal khair, yaitu keserakahan yang amat sangat terhadap keuntungan duniawi (harta, kesenangan, keamanan). Mereka mencela karena tidak mendapatkan bagian keuntungan yang mereka harapkan atau karena keberanian orang beriman mengancam kedamaian egois mereka.
Puncak dari ayat ini adalah penegasan tegas dari Allah: "Mereka itu belum beriman." Iman mereka hanya sebatas lisan. Akibatnya, meskipun mereka mungkin telah melakukan beberapa amal baik (seperti shalat atau puasa di masa damai), Allah menyatakan bahwa amal-amal tersebut menjadi hapus karena motif utama mereka adalah kemunafikan dan kepentingan diri sendiri. Bagi Allah, menghapus amal yang didasari ketidakikhlasan adalah hal yang mudah.
"Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kalanganmu sendiri, yang amat berat terasa olehnya penderitaanmu, yang sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan)mu, yang berlimpah kasih sayangNya terhadap orang-orang yang beriman." (QS. At-Taubah: 128)
Setelah menggambarkan kehinaan dan ketidakberimanan kaum munafik di ayat sebelumnya, Allah menutup surat At-Taubah dengan sebuah karunia agung, yakni kehadiran Rasulullah Muhammad ﷺ sebagai penyeimbang sempurna. Ayat 128 ini adalah pujian tertinggi dari Allah SWT kepada Nabi-Nya, sekaligus pengingat bagi orang-orang mukmin sejati tentang betapa berharganya bimbingan kenabian.
Tiga sifat utama Rasulullah digarisbawahi di sini, menunjukkan kedalaman kedekatan beliau dengan umatnya:
Kontras antara ayat 127 dan 128 sangat mencolok. Ayat 127 menampilkan kemunafikan yang takut mati demi harta, sementara ayat 128 menampilkan kepemimpinan agung yang rela menanggung derita umat demi kebahagiaan abadi mereka. Bagi mukmin sejati, inilah pegangan mereka: memiliki Nabi yang tidak hanya memimpin secara hukum, tetapi juga membimbing dengan cinta kasih tulus.
Kedua ayat ini berfungsi sebagai filter spiritual. Ayat 127 menyingkap siapa yang berpura-pura beriman saat menghadapi ujian, sementara ayat 128 memperkuat fondasi iman orang-orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dengan ketulusan, siap menerima kesulitan duniawi demi kepastian rahmat dan kasih sayang ilahi.