Surah At-Taubah (Surah ke-9) ditutup dengan ayat-ayat yang penuh makna mendalam, berfungsi sebagai penutup yang kuat bagi keseluruhan surah. Ayat 127 hingga 129 secara khusus menyoroti konsekuensi dari keraguan, pentingnya ketulusan dalam iman, dan bagaimana Rasulullah SAW menyikapi kondisi umatnya. Ayat-ayat penutup ini merupakan pelajaran penting bagi setiap mukmin tentang bagaimana seharusnya berinteraksi dengan wahyu dan tanggung jawab yang diemban.
"Dan apabila diturunkan suatu surat, sebagian dari mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: 'Siapakah di antara kamu yang keimanan-nya bertambah dengan surat (ini)?' Adapun orang-orang yang beriman, maka surat itu menambah keimanan mereka, dan mereka merasa gembira."
"Sungguh telah datang seorang Rasul dari kalanganmu, yang ia merasa berat atas penderitaanmu, yang sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, yang berlemah lembut dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman."
"Maka jika mereka berpaling (darimu), katakanlah: 'Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan melainkan Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung'."
Ayat 127 menjelaskan sebuah realitas psikologis yang mendalam dalam menghadapi kebenaran ilahi. Ketika ayat baru diturunkan, reaksi manusia berbeda-beda. Bagi orang-orang munafik, wahyu adalah sumber keraguan dan bahan untuk saling mencela, mereka bertanya-tanya apakah ayat tersebut menambah "kekuatan" atau posisi mereka. Sebaliknya, bagi orang-orang yang beriman sejati, setiap ayat baru adalah energi tambahan yang meningkatkan keyakinan mereka dan membawa kegembiraan. Ini menunjukkan bahwa iman bukanlah sekadar pengakuan lisan, melainkan sebuah proses dinamis yang tumbuh subur oleh diterimanya kebenaran tanpa syarat. Jika kebenaran membuat kita gelisah atau mencari pembenaran, maka iman kita belum mencapai tingkat ketulusan yang diinginkan.
Inti dari penutup Surah At-Taubah ini ditekankan pada ayat 128, yang merupakan pujian tertinggi bagi karakter Nabi Muhammad SAW. Allah SWT menegaskan tiga pilar utama kenabian beliau dalam konteks hubungan dengan umatnya: 'Azizun 'alaihi ma 'anittum (berat baginya kesulitanmu), Harishun 'alaikum bil mu'mineen (sangat menginginkan kebaikanmu), dan Ra'ufur Raheem (Maha Pengasih lagi Maha Penyayang). Nabi diperkenalkan sebagai sosok yang paling peduli terhadap penderitaan umatnya, bahkan lebih dari mereka sendiri. Penggambaran ini bertujuan memberikan ketenangan kepada kaum mukminin, mengingatkan mereka bahwa pemimpin mereka adalah figur penuh empati dan kasih sayang.
Menyikapi berbagai tantangan, baik dari internal (kemunafikan) maupun eksternal (permusuhan), ayat 129 memberikan formula pamungkas: kepasrahan total kepada Allah SWT. Ketika semua usaha telah dilakukan, ketika dakwah telah disampaikan dengan sejelas-jelasnya, dan ternyata masih ada yang berpaling, maka sikap seorang mukmin adalah mengucapkan, "Cukuplah Allah bagiku."
Frasa "Hasbiyallah" (Cukuplah Allah bagiku) adalah puncak dari konsep tawakal. Ini bukan berarti menyerah tanpa ikhtiar, melainkan penegasan bahwa setelah segala upaya dilakukan, hasil akhir berada dalam genggaman Dzat Yang Maha Kuasa, Tuhan pemilik Arsy yang Agung. Arsy (singgasana) melambangkan kekuasaan dan kendali atas seluruh alam semesta. Dengan menjadikan Allah sebagai sandaran utama, seorang mukmin memindahkan beban kekhawatiran atas hasil akhir kepada Pencipta, memungkinkan dirinya fokus pada ketulusan ibadah dan ketaatan pada ajaran-Nya. Tiga ayat penutup ini berfungsi sebagai rangkuman etos perjuangan seorang Muslim: ujian keimanan, penghormatan terhadap figur teladan Rasul, dan puncak ketenangan melalui tawakal hakiki.