Tafsir Singkat: At-Taubah Ayat 113 & 114

Simbolik ilustrasi tentang permohonan ampunan dan pemeliharaan Allah أ Permohonan

Surah At-Taubah (Surah Kesembilan dalam Al-Qur'an) memiliki penekanan kuat pada pemurnian iman, perjuangan, dan hubungan seorang Muslim dengan Allah serta masyarakatnya. Dua ayat terakhir dari surah ini, yaitu ayat 113 dan 114, mengandung pelajaran mendalam mengenai adab berinteraksi dengan sesama manusia, terutama yang memiliki hubungan kekerabatan namun berbeda keyakinan, serta pentingnya memohon ampunan dan keikhlasan dalam amal ibadah.

Ayat-ayat ini menjadi pedoman penting bagi umat Islam mengenai bagaimana bersikap secara bijaksana dan penuh kasih, bahkan ketika dihadapkan pada perbedaan prinsip yang mendasar. Prinsip yang diletakkan adalah prioritas terhadap ketaatan kepada Allah di atas segalanya.

Teks dan Makna Surah At-Taubah Ayat 113 dan 114

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَىٰ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ 113
"Tidak patut bagi Nabi dan orang-orang yang beriman untuk memohonkan ampunan bagi orang-orang musyrik, sekalipun (yang meninggal itu) adalah kaum kerabat mereka, setelah jelas bagi mereka bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka."

Ayat 113 ini menetapkan hukum yang sangat jelas mengenai permohonan ampunan (istighfar). Allah menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW dan orang-orang mukmin dilarang keras untuk memintakan ampunan bagi orang-orang yang mati dalam keadaan musyrik (menyekutukan Allah). Batasan ini menjadi mutlak setelah kebenaran Islam tersampaikan dan orang tersebut menolak untuk beriman hingga akhir hayatnya.

Larangan ini diperkuat dengan adanya hubungan kekerabatan sekalipun. Ini menunjukkan bahwa loyalitas keimanan kepada Allah memiliki prioritas tertinggi yang melampaui ikatan darah atau kekeluargaan duniawi. Jika seseorang telah ditetapkan sebagai penghuni neraka karena kekafirannya, maka permohonan ampunan tidak akan bermanfaat dan bahkan dapat dianggap sebagai bentuk persetujuan terhadap kekufuran mereka.

وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ إِلَّا عَنْ مَوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ ۚ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَأَوَّاهٌ حَلِيمٌ 114
"Dan permohonan ampunan Ibrahim (untuk bapaknya) itu, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diperjaanjikannya kepada bapaknya. Maka ketika telah nyata bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri daripadanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun."

Ayat 114 memberikan pengecualian historis yang sangat penting, yaitu kisah Nabi Ibrahim AS dengan ayahnya, Azar. Nabi Ibrahim AS awalnya memang pernah memohonkan ampunan untuk ayahnya, namun permohonan itu didasari oleh janji yang telah ia buat sebelumnya ketika ayahnya masih bersikap lunak terhadap dakwah tauhid. Ketika Nabi Ibrahim AS mengetahui secara pasti bahwa ayahnya adalah musuh Allah yang secara sadar menolak kebenaran, maka beliau segera memutuskan hubungan spiritual dan berlepas diri darinya. Sikap Ibrahim ini menunjukkan bahwa imanlah yang menjadi penentu utama.

Pelajaran Penting dari Kedua Ayat

Ayat 113 dan 114 Surah At-Taubah ini mengajarkan beberapa prinsip mendasar dalam Islam. Pertama, **tauhid adalah fondasi utama**. Tidak ada kompromi dalam masalah akidah, dan kita tidak boleh memohonkan ampunan bagi orang yang telah mati dalam keadaan menyekutukan Allah, meskipun mereka kerabat dekat. Kedua, **keikhlasan dalam berlepas diri**. Kisah Nabi Ibrahim adalah teladan bahwa ketika kebenaran sudah terungkap jelas dan seseorang terbukti memusuhi Allah, maka ikatan spiritual harus diputuskan, meskipun hal itu menyakitkan hati secara kemanusiaan.

Namun, ayat ini juga menyeimbangkan ketegasan akidah dengan sifat kemanusiaan. Sifat Nabi Ibrahim yang disebut sebagai "la’awwāhun ḥalīm" (sangat lembut hatinya lagi penyantun) menunjukkan bahwa ketegasan dalam prinsip harus selalu diiringi dengan kelembutan dan kesabaran dalam berinteraksi sehari-hari selama mereka masih hidup dan belum dinyatakan sebagai musuh Allah. Ketika mereka masih hidup, dakwah dan kebaikan harus tetap disampaikan dengan cara yang terbaik, sesuai dengan perintah Allah dalam ayat-ayat lain.

Memahami konteks ayat-ayat ini membantu umat Islam menempatkan prioritas spiritual di atas emosi duniawi. Ini bukan tentang memutuskan hubungan kekeluargaan fisik, melainkan memutuskan keterikatan spiritual yang bertentangan dengan prinsip keesaan Allah SWT. Kedalaman makna dalam dua ayat penutup Surah At-Taubah ini adalah warisan abadi bagi umat yang beriman.