Fokus Pada Surah At-Taubah Ayat 113

Ayat yang Dibahas: Surah At-Taubah Ayat 113

Ilustrasi peringatan dan bimbingan Ilahi

(١١٣) مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَن يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَىٰ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

Tidaklah pantas bagi Nabi dan orang-orang yang beriman untuk memohonkan ampunan (dosa) bagi orang-orang musyrik, sekalipun (orang musyrik itu) adalah kaum kerabat, setelah jelas bagi mereka bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam.

Konteks Penurunan Ayat

Ayat 113 dari Surah At-Taubah (Surah ke-9) memiliki konteks historis yang sangat penting dalam sejarah Islam. Ayat ini diturunkan setelah penaklukan Makkah dan dalam periode di mana perbedaan akidah antara Muslim dan kaum musyrik (terutama yang masih keras kepala di Makkah) menjadi sangat tegas. Ayat ini memberikan batasan dan arahan tegas mengenai hubungan loyalitas seorang Muslim.

Sebelum ayat ini turun, mungkin terdapat keraguan atau kebiasaan lama yang terbawa, di mana umat Islam masih merasa perlu untuk mendoakan atau memohonkan ampunan bagi kerabat mereka yang masih memeluk kemusyrikan. Namun, Allah SWT meluruskan pemahaman ini melalui firman-Nya.

Pesan Inti dan Implementasi Tauhid

Pesan utama dari Surah At-Taubah ayat 113 adalah mengenai prioritas loyalitas tertinggi, yaitu kepada Allah dan prinsip tauhid. Ayat ini menegaskan bahwa ketika status seseorang telah jelas—bahwa mereka berada di jalan yang akan membawa mereka ke neraka (karena kekafiran dan penolakan terhadap kebenaran)—maka seorang Muslim tidak diperbolehkan untuk mendoakan ampunan bagi mereka atas dosa kekufuran mereka.

Ayat ini secara spesifik menyoroti tiga poin krusial:

  1. Larangan Mutlak: Larangan ini berlaku bagi Nabi Muhammad SAW sendiri dan seluruh orang beriman. Ini menunjukkan betapa pentingnya prinsip ini.
  2. Pengecualian Dibatalkan: Larangan ini tetap berlaku walaupun orang tersebut adalah kerabat dekat (Uli Qurba). Ini menunjukkan bahwa ikatan akidah (iman) lebih tinggi daripada ikatan darah (nasab) dalam hal legalitas doa ampunan.
  3. Syarat Kejelasan: Batasan ini berlaku setelah terbukti jelas bahwa mereka adalah ahli neraka (Ashab al-Jahim) karena kekufuran mereka.

Batas Doa dan Kasih Sayang

Penting untuk dipahami bahwa ayat ini tidak berarti seorang Muslim harus memutuskan tali silaturahmi atau menghilangkan kasih sayang fisik kepada kerabat musyriknya. Islam sangat menganjurkan pemeliharaan hubungan kekerabatan dalam aspek duniawi, seperti memberi nafkah, menjaga kehormatan, dan bersikap baik. Namun, ayat 113 ini membatasi ranah spiritual: doa memohon ampunan dosa dan rahmat akhirat.

Dalam tafsir, terdapat perbedaan pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan "setelah jelas bagi mereka". Sebagian ulama berpendapat ini merujuk pada kondisi setelah turunnya ayat ini dan setelah orang tersebut wafat dalam keadaan musyrik. Bagi yang masih hidup, seorang Muslim tetap wajib berdakwah dan memohonkan hidayah untuk mereka.

Inti dari ayat ini adalah menjaga kemurnian aqidah dan memastikan bahwa loyalitas tertinggi tidak pernah menyimpang dari prinsip kebenaran yang dibawa oleh Islam. Ini adalah pengingat tegas bahwa keselamatan akhirat adalah tujuan utama, yang tidak bisa dikompromikan demi kenyamanan hubungan sosial atau kekerabatan duniawi.

Implikasi Modern

Di era modern, ayat ini relevan dalam konteks pemahaman loyalitas terhadap ideologi atau keyakinan yang secara eksplisit menentang prinsip dasar Islam. Ayat ini mengajarkan umat Islam untuk membedakan antara berbuat baik dalam urusan duniawi kepada non-Muslim (sesuai dengan ajaran lain) dan berdoa memohon ampunan atas kekufuran mereka di akhirat. Tindakan yang paling utama yang bisa dilakukan seorang Muslim untuk kerabat yang berbeda keyakinan adalah terus menerus berdoa memohonkan petunjuk dan hidayah Allah agar mereka menerima kebenaran sebelum ajal menjemput. Jika seseorang telah meninggal dunia dalam keadaan kekufuran, maka doa ampunan untuk dosanya tidak lagi disyariatkan.