Mengenal Dua Bahasa Isyarat Utama di Indonesia: SIBI dan BISINDO

Dunia komunikasi bagi komunitas Tuli di Indonesia memiliki dua sistem bahasa isyarat utama yang sering dibicarakan: Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI) dan Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO). Meskipun keduanya berfungsi sebagai alat komunikasi visual, filosofi, struktur, dan penerapannya sangat berbeda. Memahami perbedaan fundamental antara SIBI dan BISINDO adalah langkah krusial untuk meningkatkan inklusivitas dan menghargai keragaman linguistik di kalangan Tuli Indonesia.

Apa Itu SIBI?

Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI) dikembangkan oleh Departemen Pendidikan Nasional Indonesia. SIBI secara historis diciptakan dengan tujuan menyeragamkan bahasa isyarat di seluruh nusantara agar selaras dengan kaidah tata bahasa dan kosakata Bahasa Indonesia lisan. SIBI bersifat buatan (constructed language) yang mengacu langsung pada struktur sintaksis bahasa Indonesia baku.

Fokus utama SIBI adalah pada aspek pendidikan formal. Oleh karena itu, SIBI sangat umum digunakan di Sekolah Luar Biasa (SLB) dan lingkungan akademik formal. Kelebihan utama SIBI adalah kemudahannya untuk diintegrasikan dalam kurikulum sekolah karena sifatnya yang terstruktur dan terpusat. Namun, kritik sering muncul bahwa SIBI terasa kaku dan tidak sepenuhnya alami bagi banyak penutur asli bahasa isyarat, karena ia merupakan ‘terjemahan’ langsung dari bahasa Indonesia lisan ke dalam isyarat, tanpa mencerminkan perkembangan linguistik alami komunitas Tuli.

Apa Itu BISINDO?

Di sisi lain, Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) adalah bahasa isyarat alami yang berkembang secara spontan dan organik dalam komunitas Tuli Indonesia. BISINDO bukanlah turunan langsung dari bahasa isyarat negara lain (seperti ASL), melainkan evolusi lokal yang kaya akan keragaman regional, layaknya bahasa lisan. BISINDO memiliki tata bahasa, sintaksis, dan kosakata yang unik dan otentik bagi penutur Tuli di Indonesia.

Sebagai bahasa alami, BISINDO lebih ekspresif, fleksibel, dan secara linguistik dianggap lebih kaya. Perkembangannya didorong oleh interaksi alami antarindividu Tuli, bukan oleh kebijakan pendidikan. Saat ini, BISINDO semakin diakui sebagai identitas linguistik utama bagi banyak orang Tuli di Indonesia, meskipun tantangan dalam standardisasi dan pengakuan formal masih ada.

SIBI (Sistem Buatan) Tata Bahasa Baku Fokus Pendidikan BISINDO (Bahasa Alami) Struktur Mandiri Komunitas Tuli BERBEDA

Visualisasi perbedaan filosofis antara sistem bahasa isyarat yang terstruktur formal (SIBI) dan yang berkembang secara organik (BISINDO).

Komunikasi dan Inklusivitas

Perdebatan mengenai SIBI versus BISINDO bukan sekadar perdebatan akademis, melainkan isu penting mengenai identitas dan hak komunikasi. Banyak aktivis Tuli berpendapat bahwa pengakuan dan promosi BISINDO sangat penting karena ia adalah bahasa ibu sejati bagi mayoritas Tuli. Penggunaan BISINDO memastikan bahwa komunikasi lebih intuitif, cepat, dan kaya secara budaya.

Namun, dalam konteks layanan publik formal seperti penerjemahan di acara kenegaraan atau rapat resmi, SIBI sering kali menjadi pilihan utama karena ketersediaan juru bahasa yang terlatih menggunakan sistem tersebut, didorong oleh kurikulum formal. Hal ini menciptakan situasi di mana akses informasi formal sering menggunakan SIBI, sementara kehidupan sosial dan budaya sehari-hari menggunakan BISINDO.

Ke depannya, upaya yang paling ideal adalah mencapai titik temu di mana kedua sistem dapat saling melengkapi. Pendidikan formal dapat memanfaatkan struktur SIBI untuk memfasilitasi akses kurikulum, sementara pengakuan dan pendukung harus diarahkan pada pengembangan dan penguatan BISINDO sebagai bahasa utama komunitas Tuli Indonesia. Pengakuan penuh terhadap BISINDO adalah kunci untuk memastikan bahwa hak berbahasa dan identitas budaya masyarakat Tuli dihormati sepenuhnya di Indonesia. Komunikasi yang efektif membutuhkan pemahaman mendalam dari semua pihak mengenai realitas linguistik yang ada.

Penggunaan bahasa isyarat, baik itu SIBI maupun BISINDO, tetap merupakan jembatan vital. Dengan terus meningkatkan kesadaran publik tentang keberadaan dan perbedaan kedua sistem ini, kita dapat bergerak menuju masyarakat yang benar-benar inklusif, di mana setiap individu Tuli dapat berkomunikasi dengan cara yang paling alami dan bermakna bagi mereka.