قُلْ إِن كَانَ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوٰنُكُمْ وَأَزْوٰجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوٰلٌ ٱقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَٰكِنُ تَرْضَوْنَهَآ أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَجِهَادٍ فِى سَبِيلِهِۦ فَتَرَبَّصُوا۟ حَتَّىٰ يَأْتِىَ ٱللَّهُ بِأَمْرِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلْفٰسِقِينَ
Katakanlah: "Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, isteri-isterimu, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatir akan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik." (QS. At-Taubah: 24)Surat At-Taubah, atau Surat Pernyataan Pembebasan, mengandung ayat-ayat penting yang membentuk landasan moral dan spiritual bagi umat Islam, terutama dalam konteks kesetiaan dan prioritas hidup. Salah satu ayat yang paling menohok dan memerlukan perenungan mendalam adalah ayat ke-24. Ayat ini bukanlah sekadar teguran, melainkan sebuah ujian komprehensif mengenai loyalitas tertinggi seorang hamba.
Ayat ini secara eksplisit menyajikan daftar panjang enam kategori hal yang sangat dicintai manusia di dunia ini. Daftar ini mencakup hal-hal yang bersifat inheren dan mendasar dalam kehidupan sosial dan materi: bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, keluarga besar (kaum kerabat), serta kekayaan. Kemudian, ayat ini menambahkan dua aspek materi yang memerlukan usaha keras: perniagaan yang dikhawatirkan akan merugi (risiko ekonomi) dan rumah-rumah yang indah untuk ditinggali (kenyamanan dan status sosial).
Setelah menyebutkan semua komoditas cinta duniawi tersebut, Allah SWT, melalui Rasulullah ﷺ, membandingkannya dengan tiga prioritas absolut: cinta kepada Allah, cinta kepada Rasul-Nya (Muhammad ﷺ), dan berjihad di jalan-Nya. Perbandingan ini bersifat mutlak. Jika enam kelompok materi dan kenyamanan duniawi itu lebih didahulukan daripada ketiga pilar spiritual dan pengabdian tersebut, maka konsekuensinya diserahkan kepada ketetapan Ilahi.
Inilah inti dari ayat ini: Pengujian Keimanan. Mencintai keluarga, mencari nafkah, dan menikmati hasil jerih payah adalah fitrah manusia. Namun, Islam mengajarkan bahwa semua kecintaan tersebut harus berada di bawah payung kecintaan kepada Sang Pencipta. Ketika ada konflik kepentingan—misalnya, keluarga melarang jihad atau harta membuat lalai dari shalat—maka pilihan yang diambil harus sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.
Peringatan dalam ayat ini sangat keras: "maka tunggulah sampai Allah mendatangkan perintah-Nya." Menunggu perintah Allah di sini diartikan sebagai siap menerima konsekuensi ilahiyah, yang dalam konteks turunnya ayat ini seringkali merujuk pada pertolongan atau hukuman dalam peperangan dan ujian besar. Hal ini menunjukkan bahwa pengutamaan dunia di atas ketaatan adalah bentuk fasiq (pembangkangan).
Ayat ditutup dengan penegasan tegas: "Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik." Orang yang fasik adalah mereka yang secara konsisten melanggar batas-batas syariat, bukan karena ketidaktahuan, tetapi karena kesadaran memilih kepentingan duniawi di atas kepentingan akhirat. Bagi mereka yang terjerumus dalam fase ini, cahaya petunjuk Allah akan tertutup, karena hati mereka telah terkunci oleh materialisme dan ikatan duniawi yang disebutkan satu per satu dalam ayat tersebut.
Dalam konteks kehidupan modern, tantangan At-Taubah ayat 24 menjadi lebih halus namun tetap kuat. "Jihad di jalan Allah" tidak selalu berarti peperangan fisik; ia juga mencakup jihad dalam berdakwah, menegakkan kebenaran, berjuang melawan hawa nafsu, dan menafkahkan harta di jalan ketaatan. Kekhawatiran akan "perniagaan yang merugi" bisa diterjemahkan menjadi ketakutan kehilangan profitabilitas bisnis jika harus menjalankan etika Islam yang ketat.
Kajian ayat ini menuntut introspeksi diri yang jujur. Apakah kita benar-benar menempatkan ketaatan kepada syariat di atas kenyamanan keluarga atau keamanan finansial? Ayat ini adalah meteran iman yang mengukur seberapa besar keterikatan kita terhadap dunia fana ini. Hanya dengan menempatkan Allah dan Rasul-Nya sebagai poros utama, seorang mukmin dapat terhindar dari status orang fasik dan terus menerima petunjuk-Nya dalam setiap langkah kehidupan. Ini adalah panggilan untuk memperbarui bai'at (sumpah setia) kita setiap hari.