الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِالْمُنْكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمَعْرُوفِ وَيَقْبِضُونَ أَيْدِيَهُمْ ۚ نَسُوا اللَّهَ فَنَسِيَهُمْ ۚ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
"Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian daripada mereka adalah (berasal) dari sebahagian yang lain, mereka menyuruh mengerjakan kemungkaran dan melarang mengerjakan ma'ruf dan mereka menggenggam tangannya (kikir). Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka (pula). Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik." (QS. At-Taubah: 67)
Surat At-Taubah, yang juga dikenal sebagai Bara'ah, adalah surat Madaniyah yang turun setelah peristiwa penting dalam sejarah Islam, khususnya setelah Perang Tabuk. Ayat 67 ini secara spesifik menyoroti hakikat dan karakteristik kaum munafik, sebuah kelompok yang eksistensinya selalu menjadi ujian berat bagi komunitas Muslim, baik di masa Nabi Muhammad SAW maupun di masa-masa berikutnya.
Ayat ini dibuka dengan penegasan yang sangat tajam: "Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian daripada mereka adalah (berasal) dari sebahagian yang lain." Kalimat ini menunjukkan adanya keseragaman ideologi, mentalitas, dan tujuan di antara mereka. Kemunafikan bukanlah fenomena yang terisolasi; ia adalah sebuah sistem yang terstruktur di mana individu-individu saling mendukung dalam kebohongan dan penyimpangan akidah. Mereka bekerja dalam satu barisan yang sama, meskipun mungkin tampak terpisah.
Allah SWT kemudian merinci tiga karakteristik utama yang menjadi penanda jelas bagi kelompok ini, tiga pilar yang menopang perilaku munafik mereka:
Mereka secara aktif menganjurkan perbuatan yang dilarang oleh syariat, yaitu al-munkar. Ini bukan sekadar pasif melakukan keburukan, melainkan propaganda dan ajakan agar orang lain ikut terjerumus. Dalam konteks sosial, ini bisa berarti menyebarkan fitnah, merusak tatanan moral, atau menghasut kebencian terhadap kebenaran.
Kebalikan dari poin pertama, mereka secara aktif mencegah orang lain melakukan al-ma’ruf (kebaikan, kebenaran, dan hal-hal yang diridhai Allah). Apabila ada ajakan untuk bersedekah, mereka akan berdalih tentang kekikiran mereka; apabila ada ajakan untuk berjihad atau menolong sesama, mereka akan mencari seribu alasan untuk menghindar dan meyakinkan orang lain bahwa tindakan itu tidak perlu atau berbahaya.
Frasa "mereka menggenggam tangannya (kikir)" adalah metafora kuat dalam bahasa Arab. Tangan yang terkepal erat melambangkan penolakan untuk mengeluarkan harta, baik untuk kebutuhan diri sendiri yang wajar maupun, yang lebih penting, untuk kebutuhan agama dan umat. Kikir ini bukan hanya masalah finansial, tetapi juga kikir dalam menyumbangkan tenaga, pikiran, dan waktu untuk kebaikan. Bagi mereka, menjaga harta lebih penting daripada menjaga hubungan dengan Allah dan sesama manusia.
Puncak dari ayat ini adalah hukuman yang setara: "Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka (pula)." Lupa di sini berarti mereka mengabaikan perintah Allah, berpaling dari mengingat-Nya, dan tidak mengindahkan janji-janji-Nya. Sebagai konsekuensinya, Allah SWT membalas kelalaian mereka dengan melupakan mereka, yakni:
Kesimpulan ayat ini memberikan label definitif: "Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik." Kata fasik berarti mereka yang keluar dari ketaatan dan batas-batas syariat. Dengan demikian, Al-Qur'an menempatkan kemunafikan pada derajat yang sangat rendah, bahkan seringkali lebih berbahaya daripada kekafiran yang terang-terangan, karena kemunafikan merusak dari dalam.
Meskipun ayat ini ditujukan kepada kelompok spesifik di masa Rasulullah, sifat-sifat ini tetap relevan. Dalam masyarakat modern, munafik dapat termanifestasi dalam bentuk orang yang secara lisan mengaku beriman atau mendukung suatu nilai, namun dalam tindakan dan kebijakan, mereka justru mempromosikan apa yang merusak (pornografi, korupsi, pemecah belah) sambil menyembunyikan niat busuknya di balik kedok kesalehan. Mempelajari At-Taubah ayat 67 berfungsi sebagai pengingat untuk selalu memeriksa kejujuran hati, memastikan bahwa tindakan kita selaras dengan ucapan kita, dan bahwa tangan kita terbuka untuk kebaikan, bukan tertutup karena kekikiran duniawi.