Ilustrasi Simbolik tentang Kedekatan dengan Masjid dan Ibadah
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ ۖ فَعَسَىٰ أُولَٰئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ
Innamā yaʿmuru masājidallāhi man āmana billāhi wal-yawmil-ākhiri wa aqāmaṣ-ṣalāta wa ātaz-zakāta wa lam yakhsha illallāh, fa ʿasā ulā'ika an yakūnū minal-muhtadīn. Hanyalah orang-orang yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan yang mendapat petunjuk. (QS. At-Taubah: 18)Surat At-Taubah, yang juga dikenal sebagai Bara'ah, memiliki latar belakang historis yang kuat terkait dengan periode akhir kenabian Rasulullah SAW, khususnya terkait dengan peristiwa Fathu Makkah dan penataan ulang hubungan antara umat Islam dengan kaum musyrikin. Ayat 18 ini muncul dalam konteks yang menekankan perbedaan fundamental antara prioritas dan perilaku orang-orang yang beriman sejati dengan mereka yang berpura-pura beriman atau kaum musyrikin yang mengotori tempat-tempat ibadah suci.
Ayat ini secara tegas membatasi siapa yang berhak dan pantas untuk mengurus serta memakmurkan rumah-rumah Allah (masjid). Kata "memakmurkan" (ya'muru) di sini tidak hanya berarti membangun secara fisik, tetapi juga menghidupkannya dengan ibadah, shalat, zikir, dan kegiatan keagamaan yang selaras dengan syariat Allah. Ini adalah penegasan bahwa kesucian tempat ibadah harus dijaga oleh jiwa-jiwa yang telah menyucikan hubungannya dengan Sang Pencipta.
Ayat ini memberikan empat kriteria esensial bagi siapa pun yang ingin disebut sebagai "pemakmur masjid Allah". Keempat kriteria ini saling terkait dan membentuk fondasi keimanan yang kokoh:
Dasar utama adalah keimanan yang jujur (tauhid) kepada Allah SWT dan keyakinan mutlak akan adanya Hari Pembalasan. Tanpa keimanan yang benar, segala perbuatan, termasuk ibadah fisik di masjid, akan sia-sia. Iman kepada Hari Akhir memastikan bahwa motivasi di balik setiap tindakan adalah mencari ridha Allah, bukan pujian manusia.
Shalat adalah tiang agama. Bagi seorang pemakmur masjid, shalat tidak hanya ditunaikan, tetapi ditegakkan (diqamatkan). Ini menyiratkan pelaksanaan shalat tepat waktu, dengan kekhusyukan, dan berjamaah di masjid itu sendiri. Masjid menjadi pusat aktivitas keimanan yang dimulai dari shalat lima waktu.
Keseimbangan antara hablum minallah (hubungan dengan Allah) dan hablum minannas (hubungan dengan sesama manusia) tercermin dalam kewajiban zakat. Seseorang yang peduli pada spiritualitas masjid juga harus peduli pada kesejahteraan sosial umat. Zakat membersihkan harta dan jiwa, menjadikannya layak beribadah di rumah Allah.
Ini adalah puncak dari kemandirian spiritual. Pemakmur masjid sejati tidak gentar menghadapi penolakan, ancaman, atau kesulitan dari penguasa zalim atau manusia lain selama ia menjalankan ketaatan kepada Allah. Keberanian moral ini sangat penting dalam menjaga kebenaran ajaran Islam di dalam dan di luar masjid.
Makna ayat ini jauh melampaui urusan arsitektur atau pengelolaan dana. Kemakmuran masjid adalah cerminan dari kemakmuran iman di dalam hati jamaahnya. Jika masjid ramai tetapi umatnya lemah dalam akhlak, ekonomi, atau ilmu, maka kemakmuran yang dimaksud ayat ini belum tercapai secara hakiki. Oleh karena itu, ayat 18 menjadi standar kualitas spiritual bagi komunitas Muslim yang menjadikan masjid sebagai pusat peradaban mereka.
Harapan yang disebutkan di akhir ayat ("merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan yang mendapat petunjuk") menunjukkan bahwa ketaatan pada prinsip-prinsip ini adalah jalan menuju hidayah yang paripurna. Dengan mengamalkan iman, shalat, zakat, dan keberanian yang terpusat pada Allah, seorang mukmin akan selalu berada di jalur yang diridhai-Nya, menjadikan setiap masjid sebagai mercusuar kebenaran dan ketenangan bagi jiwa-jiwa yang letih.