Tafsir Kunci: QS At-Taubah Ayat 31 dan Batasan Otoritas

Otoritas vs Wahyu

Ilustrasi keseimbangan antara otoritas (mahbata) dan sumber rujukan utama.

Surat At-Taubah, yang juga dikenal sebagai Bara'ah (Pelepasan), memuat ayat-ayat penting yang berkaitan dengan hubungan umat Islam dengan pihak-pihak lain, baik dari kalangan musyrikin maupun Ahli Kitab. Salah satu ayat yang sering menjadi titik kajian mendalam oleh para ulama adalah **QS At-Taubah ayat 31**. Ayat ini, meskipun singkat, memiliki implikasi besar terhadap pemahaman kita mengenai sumber otoritas dalam penetapan hukum dan praktik keagamaan.

Bunyi dan Konteks Ayat

Ayat 31 dari Surah At-Taubah tersebut secara garis besar mengingatkan kaum mukminin tentang bahaya menjadikan para pendeta, rahib, dan tokoh agama lain sebagai tuhan selain Allah, khususnya dalam konteks penerimaan hukum dan keyakinan tanpa merujuk pada wahyu yang diturunkan. Teks aslinya dalam bahasa Arab menegaskan: "Mereka menjadikan orang-orang alim (rabbaniyyin) dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka memperlakukan Al-Masih putra Maryam sebagai tuhan)..."

"Mereka menjadikan orang-orang alim (rabbaniyyin) dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah..." (QS. At-Taubah: 31)

Kontekstualisasi ayat ini sangat penting. Para mufassir menjelaskan bahwa ayat ini diturunkan dalam kaitannya dengan praktik sebagian kelompok Yahudi dan Nasrani pada masa itu. Praktik yang dimaksud bukanlah pemujaan dalam arti menyembah mereka secara langsung seperti berhala, melainkan bentuk pengakuan dan kepatuhan mutlak terhadap fatwa atau hukum yang dikeluarkan oleh para ulama/pendeta mereka, bahkan ketika fatwa tersebut jelas-jelas bertentangan dengan perintah Allah dalam Taurat atau Injil. Ini adalah bentuk pensyariatan (pembuat hukum) yang diposisikan sejajar atau bahkan lebih tinggi daripada ketetapan Ilahi.

Peran Ulama dan Batasan Otoritas

Ayat ini seringkali disalahpahami seolah-olah melarang total mengambil ilmu dari ulama atau mengikuti pendapat mereka. Padahal, pemahaman yang sahih dari para ulama terdahulu (seperti Imam At-Thabari, Ibnu Katsir, dan lainnya) menekankan bahwa larangan tersebut tertuju pada **pengambilan otoritas penetapan syariat secara absolut**.

Ulama dalam Islam memiliki kedudukan mulia sebagai pewaris para nabi, yang bertugas menjelaskan dan mengamalkan wahyu. Namun, peran mereka adalah sebagai pembimbing dan penafsir, bukan sebagai sumber hukum yang setara dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Ketika seorang ulama mengeluarkan ijtihad atau fatwa, ia harus berdasarkan landasan (dalil) dari Al-Qur'an dan Hadis. Jika ijtihad tersebut jelas menyimpang dari dalil yang kuat, maka kepatuhan mutlak harus dihindari.

Inti dari QS At-Taubah ayat 31 adalah peringatan terhadap "tathaguth" (penyimpangan) dalam mengambil otoritas. Manusia dilarang menjadikan pendapat individu atau kelompok—seberapa pun alimnya—sebagai standar kebenaran tunggal yang meniadakan otoritas tertinggi wahyu Allah. Jika ulama memerintahkan sesuatu yang jelas halal menjadi haram, atau sebaliknya, maka ketaatan itu telah berubah menjadi bentuk "menjadikan mereka sebagai tuhan".

Implikasi Kontemporer

Dalam konteks modern, pesan ayat ini relevan dalam menghadapi berbagai bentuk otoritas. Ini bukan hanya berlaku pada struktur keagamaan formal, tetapi juga pada figur publik, pemikir, atau ideologi yang menuntut kepatuhan total tanpa ruang untuk verifikasi berdasarkan prinsip dasar ajaran Islam. Tantangan bagi umat Islam adalah memelihara sikap kritis yang konstruktif, yaitu kemampuan untuk menghormati ilmu dan keahlian seorang alim, sambil senantiasa mengukur setiap perkataan dan fatwa dengan neraca kebenaran yang telah ditetapkan Allah SWT.

Oleh karena itu, QS At-Taubah ayat 31 adalah pengingat tegas bahwa penentu akhir segala perkara, baik akidah maupun syariah, hanyalah Allah SWT melalui wahyu-Nya. Ulama adalah jembatan untuk memahami wahyu tersebut, bukan tujuan akhir dari kepatuhan itu sendiri. Kepatuhan yang benar adalah kepatuhan yang berjenjang, yang berpuncak pada ketaatan tunggal kepada Sang Pencipta. Memahami ayat ini membantu menjaga kemurnian tauhid dalam praktik beragama sehari-hari, memastikan bahwa otoritas spiritual tidak terdegradasi menjadi penyembahan terhadap figur manusia.