Dalam jagat pewayangan Jawa, terutama pada tradisi Wayang Kulit Purwa, nama Petruk dan Gareng tak terpisahkan dari dua tokoh punakawan lainnya, Semar dan Bagong. Mereka adalah empat serangkai yang selalu hadir mendampingi kesatria utama, khususnya Arjuna dan Pandawa. Meskipun seringkali dianggap sebagai badut atau pelawak, peran Petruk dan Gareng jauh melampaui sekadar hiburan. Mereka adalah cermin masyarakat, pembawa pesan moral, dan penyampai kritik sosial dengan cara yang jenaka dan lugas.
Gareng, yang secara harfiah berarti "tangan timpang" atau "tangan bengkok," adalah putra sulung dari Semar (yang merupakan jelmaan dewa Ismaya). Keunikan fisiknya yang paling mencolok adalah kedua tangannya yang cenderung pendek dan bengkok. Namun, kelemahan fisik ini diimbangi dengan kecerdasan yang tajam, meski seringkali ia menggunakan kecerdasannya tersebut untuk melontarkan guyonan atau sindiran halus. Gareng digambarkan sebagai sosok yang setia, sangat patuh pada ayahnya dan sangat menghormati kedua majikannya, Puntadewa dan Arjuna.
Dalam pertunjukan, Gareng seringkali menjadi inisiator dialog kocak bersama adiknya, Petruk. Ia mewakili tipikal rakyat kecil yang hidup apa adanya, jujur, namun memiliki kemampuan menganalisis situasi dengan baik. Meskipun penampilannya konyol, Gareng adalah simbol kesederhanaan dan kepatuhan yang tulus dalam menjalankan tugas, sebuah sifat yang seringkali hilang pada kalangan bangsawan.
Petruk adalah adik kedua Gareng, putra ketiga Semar. Karakternya sangat berbeda dengan Gareng. Petruk terkenal dengan postur tubuhnya yang jangkung dan lidahnya yang panjang—sebuah metafora visual untuk kemampuannya berbicara panjang lebar dan seringkali menyindir. Berbeda dengan Gareng yang lebih patuh, Petruk cenderung lebih blak-blakan, sedikit nakal, dan paling sering terlibat dalam perdebatan ringan yang mengocok perut penonton.
Petruk sering kali menjadi tokoh yang paling vokal dalam menyuarakan kegelisahan rakyat jelata. Ia tidak segan-segan mengomentari kesalahan para raja atau bangsawan, namun semua kritik itu dibungkus dalam bahasa humor sehingga tidak dianggap sebagai penghinaan langsung. Karakter Petruk adalah representasi dari keberanian berbicara jujur (meski berbumbu lelucon) yang sangat dibutuhkan dalam struktur kekuasaan feodal. Ia juga dikenal karena seringkali "jatuh cinta" atau terpesona pada para bidadari atau wanita cantik, menambah unsur komedi romantis dalam adegan-adegan tertentu.
Interaksi antara Petruk dan Gareng adalah salah satu pilar utama kesuksesan adegan humor dalam wayang. Mereka seringkali menciptakan duet maut. Gareng, dengan kesabarannya yang lebih besar, sering mencoba menahan atau memoderasi kegilaan Petruk. Sementara Petruk, dengan energi dan retorikanya yang meledak-ledak, mendorong dialog ke arah yang lebih absurd dan menghibur. Keberadaan mereka memastikan bahwa meskipun lakon utama berkisah tentang perang besar, intrik kerajaan, dan dharma (kebenaran), penonton tetap mendapatkan hiburan yang menyeimbangkan ketegangan dramatis.
Sebagai punakawan, mereka berdua adalah representasi dari bagaimana kebijaksanaan sejati tidak selalu ditemukan di istana yang megah. Semar adalah representasi Batara/Tuhan yang menyamar, sementara Gareng dan Petruk adalah perwujudan rakyat biasa. Mereka mengajarkan bahwa bahkan dalam keterbatasan fisik dan status sosial, seseorang dapat memiliki kebijaksanaan dan kemampuan untuk menyuarakan kebenaran, asalkan dilakukan dengan cara yang tepat. Melalui tawa yang mereka ciptakan, penonton diajak merenungkan kesalahan diri sendiri dan penguasa, menjadikan Gareng dan Petruk lebih dari sekadar badut—mereka adalah filsuf rakyat berseragam gembel.
Secara visual, perbedaan antara keduanya juga kaya akan makna. Gareng yang bertubuh lebih kecil dan canggung, mewakili keterbatasan manusiawi. Petruk yang tinggi kurus, mewakili energi yang mudah terlepas dari kendali. Keduanya, bersama Bagong dan Semar, selalu tampil dalam busana yang sederhana, kontras dengan kemegahan pakaian para kesatria Pandawa yang berlapis emas. Pakaian mereka yang sederhana ini menegaskan posisi mereka sebagai juru bicara rakyat jelata yang tidak terpengaruh oleh kemewahan duniawi, fokus hanya pada penyampaian pesan moral dan memberikan kegembiraan melalui humor yang spontan dan sangat membumi. Dialog mereka seringkali menggunakan bahasa Jawa Ngoko (tingkat rendah), yang semakin memperkuat kedekatan mereka dengan audiens umum.
Ilustrasi sederhana dua punakawan: Gareng (kiri, tangan bengkok) dan Petruk (kanan, tinggi dan lidah panjang).