Perbedaan Senang dan Bahagia Menurut Pandangan Islam

Ilustrasi konsep senang dan bahagia dalam Islam SENANG (Duniawi) BAHAGIA (Ukhrawi)

Dalam menjalani kehidupan, manusia seringkali mengejar perasaan yang menyenangkan. Namun, dalam perspektif Islam, terdapat perbedaan mendasar antara perasaan sesaat yang disebut 'senang' dan kondisi batin yang mendalam yang dikenal sebagai 'bahagia' atau sa'adah. Memahami dikotomi ini sangat penting untuk menetapkan prioritas spiritual yang benar.

Memahami 'Senang': Kenikmatan Duniawi yang Fana

Perasaan senang (sering dikaitkan dengan farah atau surur dalam bahasa Arab) umumnya merujuk pada emosi positif yang muncul akibat terpenuhinya keinginan duniawi atau stimulus eksternal. Senang bersifat temporal, bergantung pada adanya sebab yang memicu. Ketika kita mendapatkan gaji besar, memenangkan undian, atau mendapatkan pujian, kita merasakan senang.

Sifat kesenangan ini bersifat relatif dan cepat hilang. Begitu stimulus itu berakhir atau muncul kebutuhan baru, perasaan senang itu pun memudar. Islam mengakui bahwa kenikmatan duniawi itu ada dan halal untuk dinikmati, namun memberikan peringatan keras agar hati tidak terikat padanya.

"Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah senda gurau dan permainan. Dan sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, sekiranya mereka mengetahui." (QS. Al-'Ankabut: 64).

Ayat ini menggarisbawahi bahwa ketergantungan total pada sumber kesenangan duniawi akan menyebabkan kekecewaan karena sifatnya yang tidak kekal. Kesenangan yang berlebihan tanpa filter ketaatan seringkali menjauhkan seseorang dari tujuan hakiki penciptaan.

Mengenal 'Bahagia' (Sa'adah): Ketenangan Batin yang Hakiki

Berbeda dengan senang, bahagia dalam Islam adalah keadaan sa'adah. Sa'adah bukanlah sekadar emosi, melainkan sebuah kondisi spiritual dan mental yang bersumber dari kedekatan dengan Allah SWT dan keridaan terhadap ketetapan-Nya. Kebahagiaan ini bersifat abadi karena berakar pada hubungan dengan Zat yang Maha Kekal.

Seorang Muslim bisa saja sedang dalam kesulitan finansial (tidak 'senang' secara duniawi), namun ia tetap memancarkan ketenangan dan kebahagiaan karena hatinya telah menemukan kedamaian (sakinah) melalui iman dan amal saleh.

Imam Al-Ghazali dan para ulama lainnya menjelaskan bahwa kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai dengan membersihkan hati dari cinta dunia yang berlebihan dan mengisinya dengan cinta kepada Allah (mahabbah) serta selalu mengingat-Nya (dzikrullah).

Tabel Perbedaan Kunci

Berikut adalah ringkasan perbedaan esensial antara Senang dan Bahagia menurut kacamata Islami:

Aspek Senang (Kesenangan Duniawi) Bahagia (Sa'adah Spiritual)
Sumber Faktor eksternal (harta, pujian, kesenangan fisik). Faktor internal (iman, takwa, keridhaan Allah).
Durasi Sementara, mudah hilang dan berganti. Cenderung permanen dan berkelanjutan, bahkan saat kesulitan.
Ketergantungan Bergantung pada pemenuhan keinginan atau hawa nafsu. Bergantung pada kepatuhan terhadap syariat Ilahi.
Nilai Akhirat Tidak memberikan nilai investasi pahala yang signifikan. Merupakan hasil dari amal saleh dan kunci kebahagiaan ukhrawi.

Implikasi dalam Kehidupan Seorang Mukmin

Tujuan seorang Muslim bukanlah untuk menumpuk kesenangan semata, melainkan untuk menata hidup agar mencapai kebahagiaan yang paripurna. Rasulullah ﷺ mengajarkan doa yang menekankan prioritas ini:

"Ya Allah, jadikanlah dunia ini hanya sebagai tempat persinggahan kami, dan jadikanlah akhirat sebagai tempat tinggal kami yang abadi."

Implikasinya, ketika kita diuji dengan musibah, kita mungkin merasa sedih atau tidak senang, namun fondasi kebahagiaan kita—yaitu keimanan—tetap utuh. Sebaliknya, orang yang hidupnya dipenuhi harta namun hatinya lalai akan mudah terombang-ambing; ia mungkin sering senang sesaat, namun sangat rentan terhadap keputusasaan mendalam ketika kesenangannya direnggut.

Oleh karena itu, umat Islam didorong untuk mencari rahmat Allah dan keridaan-Nya. Rasa syukur (syukur) adalah kunci untuk mengubah kesenangan duniawi menjadi bekal kebahagiaan ukhrawi. Kesenangan yang diiringi rasa syukur akan mendekatkan diri kepada Allah, sementara kesenangan yang disertai kesombongan dan kelalaian justru akan menjauhkan.

Pada akhirnya, perbedaan antara senang dan bahagia menurut Islam terletak pada porosnya. Senang berputar pada poros dunia yang terbatas, sementara bahagia berputar pada poros akhirat yang tak terbatas. Menjadi Muslim berarti memilih poros yang menjamin ketenangan dan keberuntungan abadi, bukan hanya euforia sesaat.