Wacana mengenai penggunaan bahan bakar minyak (BBM) jenis solar untuk sepeda motor bukanlah hal baru di Indonesia. Di tengah perbincangan mengenai efisiensi energi, harga BBM yang fluktuatif, dan upaya pemerintah dalam transisi energi, muncul gagasan ekstrem: memodifikasi atau bahkan memproduksi motor yang secara eksklusif menggunakan solar.
Mengapa Solar Menjadi Perhatian?
Alasan utama yang sering dikemukakan pendukung ide ini adalah perbedaan harga antara Pertalite/Premium dan Solar (terutama Solar Subsidi/Biosolar). Di banyak periode, harga solar subsidi jauh lebih murah dibandingkan bensin. Bagi jutaan pengendara motor di Indonesia yang mengandalkan kendaraan mereka sebagai urat nadi ekonomi harian, penghematan biaya bahan bakar bisa signifikan.
Selain itu, motor diesel (yang menggunakan solar) secara teoritis menawarkan torsi yang lebih besar pada putaran mesin yang lebih rendah. Ini dapat memberikan keunggulan dalam hal akselerasi awal atau kemampuan membawa beban berat. Dalam konteks negara kepulauan dengan medan yang bervariasi, keandalan dan torsi menjadi pertimbangan penting.
Tantangan Teknis dan Regulasi
Namun, ide motor pakai solar menghadapi tantangan teknis yang sangat besar. Motor konvensional yang kita kenal menggunakan busi untuk memicu pembakaran (mesin bensin/Spark Ignition). Sementara itu, mesin diesel bekerja melalui kompresi tinggi untuk mencapai titik bakar bahan bakar (Compression Ignition).
Untuk membuat motor bensin bisa berjalan dengan solar, diperlukan perombakan total pada jantung mesin. Rasio kompresi harus ditingkatkan drastis, sistem injeksi harus diganti total, dan material mesin harus lebih kuat untuk menahan tekanan yang jauh lebih tinggi. Ini bukan sekadar modifikasi sederhana; ini adalah rekayasa ulang mesin.
Jika modifikasi dilakukan, muncul isu legalitas dan standar emisi. Kendaraan bermotor di Indonesia tunduk pada regulasi emisi yang ketat. Mesin diesel, meskipun lebih irit dalam konsumsi bahan bakar per kilometer, cenderung menghasilkan emisi partikulat (jelaga/PM) dan Nitrogen Oksida (NOx) yang lebih tinggi dibandingkan mesin bensin modern, terutama jika tidak dilengkapi sistem filter yang canggih.
Ketersediaan dan Infrastruktur
Aspek infrastruktur juga menjadi penghalang. Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) mayoritas menyediakan bensin dan Pertamina Dex/Dexlite. Meskipun solar tersedia, konsentrasi penggunaannya terfokus pada kendaraan komersial besar seperti truk dan bus. Jika motor menggunakan solar, antrian dan distribusi BBM bisa menjadi kacau karena perbedaan kapasitas tangki dan frekuensi pengisian.
Lebih lanjut, ada kekhawatiran mengenai subsidi. Solar yang saat ini disubsidi oleh pemerintah ditujukan untuk sektor transportasi publik dan logistik yang menopang hajat hidup orang banyak. Jika tiba-tiba jutaan motor pribadi mengonsumsi solar bersubsidi, beban fiskal negara akan melonjak drastis, dan bukan tidak mungkin pemerintah akan mencabut atau membatasi akses solar untuk kendaraan roda dua.
Alternatif yang Lebih Realistis
Daripada mendorong motor diesel yang kompleks secara teknologi dan berpotensi mengganggu subsidi energi, langkah transisi energi yang lebih realistis bagi sektor roda dua adalah fokus pada elektrifikasi. Motor listrik menawarkan efisiensi energi yang jauh lebih tinggi, emisi nol di titik penggunaan, dan saat ini didukung oleh berbagai insentif pemerintah.
Motor pakai solar tetap menjadi topik menarik di ruang diskusi, terutama bagi mereka yang mencari solusi hemat biaya jangka pendek. Namun, dari perspektif teknologi, regulasi lingkungan, dan keberlanjutan fiskal, ide ini tampak lebih merupakan wacana idealis daripada solusi praktis untuk masa depan mobilitas perkotaan di Indonesia.
Perkembangan teknologi yang ada menunjukkan bahwa masa depan transportasi ringan akan condong ke arah baterai, bukan dieselisasi massal pada segmen sepeda motor. Meskipun demikian, upaya untuk mengoptimalkan efisiensi mesin bakar internal terus berjalan, namun dengan fokus pada bahan bakar yang lebih bersih, bukan beralih sepenuhnya ke solar.