Aksara Lontara, sering kali dikenal juga sebagai Aksara Bugis-Makassar, adalah salah satu warisan budaya tertulis yang sangat kaya dan penting bagi masyarakat di Sulawesi Selatan, Indonesia. Sistem penulisan ini memiliki sejarah panjang dan erat kaitannya dengan identitas budaya Suku Bugis, Makassar, dan Toraja. Meskipun kini dominasi huruf Latin sangat terasa, Lontara tetap menjadi simbol kebanggaan dan kerap digunakan dalam konteks adat, sastra tradisional, dan seni.
Penamaan "Lontara" sendiri berasal dari kata 'lontar', pohon palem yang daunnya secara tradisional digunakan sebagai media tulis. Sebelum ditemukannya kertas yang mudah diakses, masyarakat menggunakan daun lontar yang diiris tipis, ditulis menggunakan benda tajam (seperti pisau atau keris kecil), kemudian dikeringkan dan diikat. Lontara adalah aksara jenis Brahmic atau Abugida, yang berarti setiap huruf dasarnya merepresentasikan sebuah suku kata (konsonan + vokal inheren 'a').
Para ahli linguistik meyakini bahwa Aksara Lontara memiliki akar yang sama dengan aksara-aksara dari Asia Tenggara Daratan dan Kepulauan Melayu, yang semuanya berasal dari keluarga aksara Brahmi di India kuno. Perkembangan aksara ini di Sulawesi Selatan menunjukkan adaptasi lokal yang khas, membedakannya dari aksara sejenis seperti Aksara Bali atau Jawa. Aksara ini tidak hanya digunakan oleh orang Bugis, tetapi juga oleh masyarakat Makassar dan Toraja, menjadikannya identitas regional yang luas.
Seperti Abugida lainnya, Lontara memiliki 23 aksara dasar yang mewakili konsonan dengan vokal inheren /a/. Untuk mengubah vokal inheren tersebut menjadi /i/, /u/, /e/, atau /o/, digunakan tanda diakritik (disebut taleng atau tanda) yang ditempatkan di atas atau di bawah aksara dasar.
Satu hal unik dari Lontara adalah bagaimana ia dibaca. Secara tradisional, Lontara ditulis secara vertikal dari atas ke bawah, dan baris teks ditulis dari kiri ke kanan. Namun, dalam beberapa lontaran kuno, terutama pada naskah yang lebih pendek, tulisan bisa juga horizontal. Tidak adanya spasi antar kata yang jelas juga menjadi tantangan tersendiri bagi pembaca modern yang belum terbiasa.
Aksara Lontara bukan sekadar alat komunikasi; ia adalah wadah penyimpanan pengetahuan. Melalui Lontara, berbagai jenis teks kuno telah diselamatkan dan diwariskan, mencakup berbagai genre. Genre yang paling terkenal adalah Lontara Pura (sejarah raja-raja dan silsilah), Lontara Adilang (hukum dan tata krama), serta Lontara Pakka’toan (nasihat moral dan filsafat hidup).
Filsafat hidup Bugis yang terkenal, seperti konsep Tolo’ Nata’se (tidak pernah menyerah) dan pentingnya Siri’ (harga diri), sering kali diabadikan dalam tulisan Lontara. Meskipun kini banyak naskah yang sudah dialihaksarakan ke huruf Latin untuk pelestarian yang lebih mudah, mempelajari aksara aslinya memberikan apresiasi mendalam terhadap kekayaan intelektual leluhur Bugis.
Upaya pelestarian terus dilakukan oleh pemerintah daerah dan pegiat budaya. Pelatihan menulis Lontara bagi generasi muda menjadi krusial agar aksara kuno ini tidak sekadar menjadi artefak museum, melainkan tetap hidup sebagai bagian integral dari identitas kebudayaan Bugis dan Makassar di era digital. Dengan mempelajari Lontara, kita tidak hanya membaca huruf, tetapi juga memahami cara pandang dan nilai-nilai luhur masyarakat Sulawesi Selatan.