Hubungan antara kompresi dan bahan bakar adalah inti dari cara kerja mesin pembakaran internal modern, baik itu bensin maupun diesel. Kompresi, dalam konteks mesin, mengacu pada proses pemadatan campuran udara dan bahan bakar (atau hanya udara pada mesin diesel) di dalam silinder sebelum proses pembakaran terjadi. Parameter kunci yang mendefinisikan sejauh mana pemadatan ini adalah Rasio Kompresi (Compression Ratio).
Secara fundamental, semakin tinggi rasio kompresi, semakin efisien mesin tersebut secara termodinamika. Hal ini sesuai dengan prinsip Siklus Otto atau Diesel. Peningkatan tekanan dan suhu yang dihasilkan oleh kompresi yang lebih tinggi memungkinkan energi kimia dalam bahan bakar diubah menjadi energi mekanik dengan lebih efektif. Jika kompresi rendah, energi yang dilepaskan dari pembakaran akan terbuang lebih banyak melalui gas buang, menghasilkan tenaga yang lebih kecil per satuan bahan bakar yang dikonsumsi.
Ilustrasi Konseptual: Peningkatan kompresi mengurangi volume ruang bakar.
Meskipun rasio kompresi yang lebih tinggi menjanjikan efisiensi bahan bakar yang lebih baik, terdapat batasan fisik yang signifikan, terutama pada mesin bensin. Batasan utama ini adalah fenomena yang dikenal sebagai ketukan (knocking) atau detonasi.
Detonasi terjadi ketika campuran udara-bahan bakar yang terkompresi sangat tinggi mulai menyala secara spontan sebelum busi memberikan percikan api (pre-ignition), atau campuran yang sudah tersulut menyebar secara tidak terkontrol (detonasi). Hal ini menciptakan gelombang kejut merusak di dalam silinder, yang tidak hanya mengurangi efisiensi tetapi juga berpotensi merusak komponen mesin seperti piston dan kepala silinder.
Untuk mengatasi masalah ini, mesin bensin memerlukan bahan bakar dengan angka oktan (Octane Rating) yang lebih tinggi. Angka oktan adalah ukuran kemampuan bahan bakar untuk menahan kompresi tanpa mengalami detonasi. Oleh karena itu, peningkatan rasio kompresi secara langsung berkorelasi dengan kebutuhan akan bahan bakar premium.
Mesin diesel beroperasi berdasarkan prinsip yang sedikit berbeda, yang dikenal sebagai Siklus Diesel. Mesin diesel tidak menggunakan busi; sebaliknya, ia mengandalkan panas yang dihasilkan dari kompresi udara saja untuk menyulut bahan bakar.
Mesin diesel memiliki rasio kompresi yang jauh lebih tinggi (umumnya 14:1 hingga 25:1, dibandingkan mesin bensin 9:1 hingga 12:1). Kompresi ekstrem ini memanaskan udara hingga suhu yang cukup tinggi sehingga ketika bahan bakar diesel disemprotkan, ia langsung terbakar.
Keunggulan rasio kompresi tinggi ini adalah alasan utama mengapa mesin diesel secara inheren lebih efisien dalam hal bahan bakar dibandingkan mesin bensin. Semakin tinggi kompresi, semakin banyak energi yang diekstraksi dari volume bahan bakar yang sama. Namun, kompresi yang sangat tinggi ini juga menuntut kekuatan material mesin yang jauh lebih kokoh, yang menjelaskan mengapa mesin diesel sering kali lebih berat dan lebih tahan lama.
Inovasi terus mendorong batas-batas kompresi. Beberapa produsen mobil bensin kini menggunakan teknologi canggih seperti Variable Compression Ratio (VCR). Teknologi ini memungkinkan mesin secara dinamis mengubah rasio kompresi berdasarkan kondisi mengemudi.
Saat berkendara santai (cruise), mesin dapat meningkatkan rasio kompresi untuk menghemat bahan bakar. Namun, saat pengemudi membutuhkan tenaga maksimal (akselerasi cepat), rasio kompresi diturunkan untuk mencegah detonasi, sehingga memungkinkan penggunaan tenaga penuh tanpa merusak mesin.
Singkatnya, kompresi adalah variabel desain mesin yang paling penting dalam menentukan efisiensi termal. Pemahaman yang tepat mengenai bagaimana kompresi berinteraksi dengan karakteristik bahan bakar (oktan untuk bensin, titik nyala untuk diesel) adalah kunci untuk mencapai pembakaran yang kuat dan hemat energi. Peningkatan berkelanjutan dalam ilmu material dan kontrol elektronik terus membuka jalan bagi rasio kompresi yang lebih tinggi, yang pada akhirnya berarti lebih banyak kilometer per liter bahan bakar yang digunakan.