Filosofi 'Mbangun Deso' dalam Jejak Ki Seno Nugroho
Kisah seorang dalang legendaris, Ki Seno Nugroho, tidak hanya dikenal karena keahliannya memukau penonton dengan wayang kulit kontemporer. Di balik panggung, semangatnya yang mendalam terhadap akar budaya termanifestasi dalam gerakan non-formal yang sangat berarti: Mbangun Deso. Istilah Jawa ini secara harfiah berarti 'membangun desa', sebuah filosofi yang menekankan pentingnya pelestarian nilai-nilai lokal sekaligus mendorong kemajuan masyarakat pedesaan.
Bagi Ki Seno Nugroho, panggung wayang adalah miniatur dari masyarakat. Pertunjukannya yang seringkali menyentuh isu-isu kontemporer, seringkali menjadi alat efektif untuk menyampaikan pesan-pesan pembangunan dan persatuan. Namun, 'Mbangun Deso' yang ia anut melangkah lebih jauh dari sekadar narasi seni. Ini adalah panggilan untuk aksi nyata, mengingatkan bahwa desa adalah jantung kebudayaan dan fondasi bangsa.
Pentingnya Kearifan Lokal dalam Pembangunan
Dalam konteks modern, pembangunan seringkali didominasi oleh arus globalisasi yang cenderung homogen. Namun, gerakan Mbangun Deso yang diusung melalui semangat beliau menuntut kesadaran bahwa kekayaan sejati sebuah daerah terletak pada keunikan lokalnya. Ini berarti menjaga kearifan lokal, memelihara tradisi, dan mengoptimalkan sumber daya alam dan manusia yang ada di desa tersebut, bukan sekadar meniru model pembangunan dari luar.
Ki Seno percaya bahwa seni, terutama wayang, memiliki kekuatan transformatif. Ketika ia tampil, ia tidak hanya menjual hiburan; ia menanamkan benih kesadaran sosial. Melalui sinden, antawacana, hingga lakon yang dipilih, pesan-pesan mengenai gotong royong, kejujuran, dan pentingnya menjaga lingkungan selalu terselip. Ini adalah salah satu bentuk paling halus dari upaya Mbangun Deso—membangun karakter warganya terlebih dahulu.
Melestarikan Tradisi untuk Masa Depan Desa
Salah satu tantangan terbesar desa saat ini adalah regenerasi. Anak-anak muda semakin tertarik pada hiruk pikuk kota, meninggalkan kesenian tradisional seperti wayang kulit. Semangat Ki Seno Nugroho dalam berinovasi pada seni pewayangan adalah respons langsung terhadap tantangan ini. Ia membuktikan bahwa tradisi tidak harus kaku; ia bisa beradaptasi, menggunakan bahasa yang lebih relevan tanpa kehilangan esensinya.
Aksi nyata dalam konteks Mbangun Deso juga terlihat dari bagaimana ia menghargai para seniman dan pekerja seni di sekitarnya. Dengan memberikan panggung dan apresiasi, ia memastikan rantai ekosistem seni tradisional tetap hidup. Desa yang sehat adalah desa yang memiliki identitas budaya yang kuat, dan identitas itu hanya bisa dipertahankan jika seniman dan budayawannya sejahtera dan dihargai.
Dampak Jangka Panjang Semangat "Mbangun Deso"
Meskipun sosok Ki Seno Nugroho telah tiada, warisan semangatnya melalui konsep Mbangun Deso terus bergema. Ini mengajarkan bahwa pembangunan sejati bukanlah tentang infrastruktur fisik semata, melainkan tentang penguatan komunitas. Ketika masyarakat desa merasa memiliki dan bangga dengan budayanya, mereka akan lebih termotivasi untuk turut serta menjaga ketertiban, kebersihan, dan kemajuan bersama.
Pengaruhnya mendorong berbagai inisiatif lokal untuk kembali menggali potensi desa—baik itu pariwisata berbasis budaya, pertanian organik yang lestari, maupun revitalisasi balai desa sebagai pusat kegiatan sosial. Semangat yang ditanamkan adalah fondasi moral: bahwa desa harus maju tanpa kehilangan jati dirinya. Ini adalah warisan abadi dari seorang maestro yang menggunakan seni sebagai jembatan menuju kemajuan kolektif.
Pada akhirnya, kisah Ki Seno Nugroho dan semangat Mbangun Deso adalah pengingat bahwa kemajuan yang berkelanjutan berakar pada penghargaan mendalam terhadap tempat kita berasal. Ia membuktikan bahwa seorang seniman, melalui platformnya, bisa menjadi motor penggerak perubahan sosial dan pembangunan komunitas yang otentik dan berkelanjutan.