Dalam budaya yang sering kali merayakan puncak kebahagiaan, sebuah pesan yang berlawanan mungkin terasa mengganggu: "Jangan terlalu bahagia." Ungkapan ini, meskipun terdengar pesimistis, sebenarnya mengandung kearifan mendalam mengenai psikologi manusia dan siklus kehidupan. Kebahagiaan sejati bukanlah kondisi permanen yang harus dikejar tanpa henti, melainkan sebuah momen yang dinikmati dalam konteks yang seimbang.
Fenomena 'Hedonic Adaptation'
Salah satu alasan utama mengapa kegembiraan ekstrem harus diwaspadai adalah karena adanya konsep yang dikenal sebagai adaptasi hedonis (hedonic adaptation). Manusia memiliki kemampuan luar biasa untuk menyesuaikan diri dengan perubahan positif dalam hidup mereka. Ketika kita mencapai suatu kebahagiaan yang sangat tinggi—misalnya, kenaikan gaji besar, pembelian barang mewah, atau pencapaian besar—tingkat euforia tersebut cenderung menurun seiring waktu. Otak kita kembali ke tingkat kebahagiaan dasar (baseline) yang telah ditetapkan sebelumnya. Ini berarti, semakin tinggi lonjakan kebahagiaan yang kita rasakan, semakin rendah pula titik dasar yang kita harapkan di masa depan.
Akibatnya, kita akan terus mencari stimulus yang lebih besar hanya untuk mencapai tingkat kebahagiaan yang sama seperti sebelumnya. Siklus tanpa akhir ini melelahkan dan membuat kita rentan terhadap kekecewaan ketika euforia awal memudar.
Pintu Terbuka untuk Kesedihan
Dalam filosofi kehidupan, ekstremitas jarang dianjurkan. Ketika seseorang berada di puncak kebahagiaan yang meluap-luap, secara tidak sadar ia sering kali mengabaikan potensi risiko atau perubahan yang mungkin datang. Dalam banyak narasi kuno dan psikologi modern, kegembiraan yang tak terkendali seringkali menjadi pertanda bahwa kita terlalu lengah. Ini adalah hukum tarik-menarik emosi: ketika Anda berada sangat tinggi, ruang untuk jatuh juga semakin besar.
Terlalu fokus pada emosi positif ekstrem dapat membuat kita kurang siap menghadapi kesulitan. Kehidupan bersifat siklus. Akan ada tantangan, kesedihan, atau kerugian. Jika sistem emosional kita sudah terbiasa hanya merasakan "bahagia luar biasa," maka ketika kesedihan datang, dampaknya akan terasa jauh lebih menghancurkan daripada jika kita selalu mempertahankan tingkat kegembiraan yang moderat dan stabil.
Mengejar Ketenangan, Bukan Euforia
Para filsuf Stoik mengajarkan pentingnya 'Apatheia'—bukan berarti apatis, melainkan ketenangan pikiran bebas dari gangguan emosi yang tidak perlu. Mereka menyarankan untuk fokus pada apa yang bisa kita kendalikan, yaitu respons kita terhadap peristiwa, bukan peristiwa itu sendiri. Ini berarti menghargai momen bahagia tanpa menjadikannya satu-satunya sumber validasi diri.
Ketenangan (contentment) sering kali lebih berkelanjutan daripada kebahagiaan (joy) yang eksplosif. Ketenangan memungkinkan kita untuk menghargai pencapaian, menikmati proses, dan tetap teguh saat menghadapi badai. Daripada merayakan setiap kemenangan kecil dengan euforia berlebihan, lebih bijaksana jika kita merayakan dengan rasa syukur yang mendalam dan disadari. Rasa syukur yang tenang membangun resiliensi yang lebih kuat daripada kegembiraan yang fluktuatif.
Praktik Hidup Seimbang
Jadi, bagaimana kita menerapkan nasihat ini tanpa menjadi suram? Intinya adalah mengelola ekspektasi dan menikmati momen tanpa terikat padanya.
- Sadari Siklusnya: Terima bahwa emosi datang dan pergi. Jangan panik saat bahagia menurun, dan jangan panik saat kesedihan muncul.
- Hargai Proses: Fokuskan energi pada upaya dan pertumbuhan, bukan hanya pada hasil akhir yang menyebabkan ledakan kegembiraan sesaat.
- Latih Kesadaran Diri: Ketika Anda merasa sangat senang, ambil jeda sejenak. Tanyakan pada diri sendiri: "Apa yang mungkin terlewatkan karena euforia ini?"
Pada akhirnya, nasihat untuk tidak terlalu bahagia bukanlah ajakan untuk hidup dalam kesuraman, melainkan undangan untuk membangun fondasi emosional yang kokoh. Keseimbangan memungkinkan kita untuk merasakan keindahan dan kehangatan kebahagiaan tanpa dihancurkan oleh ketidakpermanenannya. Nikmati, syukuri, tetapi selalu sisakan ruang untuk kewaspadaan yang bijaksana.