Dalam ajaran Islam, kehidupan rumah tangga dibangun di atas landasan kasih sayang, ketenangan (sakinah), dan batasan-batasan syariat yang jelas. Hubungan intim suami istri adalah karunia besar yang dianjurkan untuk dipelihara, namun seperti segala hal yang mulia, ia memiliki aturan dan waktu-waktu tertentu yang harus dihormati. Memahami kapan hubungan tersebut dianjurkan, diperbolehkan, bahkan dilarang, adalah bagian dari ketaatan seorang Muslim.
Dasar Hukum dan Tujuan Syariat
Syariat Islam selalu bertujuan membawa kemaslahatan (kebaikan) bagi umatnya. Dalam konteks hubungan suami istri, batasan-batasan yang ada bukan bertujuan untuk menyulitkan, melainkan untuk menjaga kesucian hubungan, kesehatan fisik dan mental, serta menjaga tatanan sosial. Jika terdapat larangan pada waktu-waktu tertentu, biasanya hal tersebut didasarkan pada dalil dari Al-Qur'an, Hadis, atau ijma' ulama, yang seringkali bersinggungan dengan waktu ibadah utama atau kondisi fisik yang kurang mendukung.
Hari-Hari yang Dilarang Melakukan Hubungan Intim
Meskipun konsensus ulama mengenai waktu yang paling dilarang secara keras sangat spesifik pada hal-hal yang dapat membatalkan ibadah, beberapa fuqaha (ahli fikih) menyebutkan beberapa waktu yang sebaiknya dihindari, terutama terkait dengan kemaslahatan ibadah. Waktu yang paling sering dibahas dalam konteks penghindaran hubungan adalah:
- Saat Berpuasa di Bulan Ramadhan: Ini adalah larangan yang paling jelas dan tegas. Berhubungan intim (jima') dilarang keras dari terbit fajar hingga terbenam matahari selama bulan Ramadhan. Pelanggaran pada waktu ini membatalkan puasa dan mewajibkan qadha (mengganti puasa) serta kafarat (denda).
- Saat Pelaksanaan Iātikaf: Bagi mereka yang sedang melaksanakan i'tikaf di masjid (berdiam diri untuk beribadah), segala bentuk hubungan suami istri dilarang total, karena dapat membatalkan status i'tikafnya.
- Ketika Sedang dalam Masa Iddah: Jika seorang istri sedang menjalani masa iddah (menunggu masa tertentu) baik karena perceraian maupun wafatnya suami, maka ia dilarang menerima hubungan suami istri dari mantan suaminya (jika perceraian) atau siapapun (jika iddah karena wafat).
Konteks Waktu yang Tidak Disunnahkan (Makruh)
Selain larangan tegas di atas, terdapat pula beberapa waktu yang oleh sebagian ulama dinilai makruh (kurang dianjurkan) untuk melakukan hubungan intim. Walaupun hukumannya tidak seberat larangan mutlak, menghindarinya dianggap lebih sesuai dengan etika Islam dan menjaga kesempurnaan amal ibadah.
Beberapa waktu makruh yang sering disebutkan meliputi:
- Sebelum Shalat Berjamaah: Melakukan hubungan intim tepat sebelum shalat wajib, terutama jika dikhawatirkan akan menimbulkan rasa malas, lemas, atau terlambat untuk menunaikan kewajiban shalat berjamaah di masjid, dianggap kurang utama.
- Saat Malam Hari Raya (Idul Fitri dan Idul Adha): Meskipun tidak ada larangan tegas, ada anjuran untuk mengutamakan takbir, shalat malam, dan dzikir pada malam-malam suci tersebut.
- Ketika Salah Satu Pihak Sangat Lelah atau Sakit Parah: Meskipun bukan larangan waktu spesifik, Islam sangat menekankan bahwa hubungan harus dilakukan atas dasar kerelaan dan tidak boleh menyakiti pasangan. Melakukannya ketika salah satu pihak berada dalam kondisi fisik yang sangat lemah dapat dianggap melanggar prinsip ihsan (berbuat baik).
Pentingnya Komunikasi dan Kelembutan
Prinsip utama dalam Islam adalah bahwa hubungan suami istri harus dilandasi kerelaan, kasih sayang, dan pemenuhan hak masing-masing pasangan. Larangan atau waktu yang kurang dianjurkan ini berfungsi sebagai pengingat bahwa ada prioritas spiritual yang lebih tinggi, seperti puasa, shalat, atau ibadah lainnya. Seorang Muslim perlu bijak dalam mengatur waktu agar ibadah mahdhah (ibadah murni) dan pemenuhan kebutuhan biologis dapat berjalan selaras tanpa saling meniadakan manfaatnya. Kelembutan dan musyawarah dalam rumah tangga adalah kunci untuk menaati batasan-batasan ini dengan hati yang lapang.